Cinta Kristus dan Hubungan Suami Isteri

Ringkasan Khotbah

Pengkhotbah: Pdt. Effendi Susanto STh.

Nats: Efesus 5:22-33

Di dalam bagian ini Paulus membawa kita masuk kepada satu relasi yang penting dan intim ketika kita menjadi anak-anak Tuhan, Kristus bukan saja menjadi Kepala Gereja, Kristus juga harus menjadi Kepala rumah tangga kita dan itu harus menjadi fondasi yang penting pada waktu kita berelasi satu dengan yang lain dan mentransformasi lifestyle di dalam kehidupan keluarga kita.

Saat membaca bagian ini perlu kita ingat perbedaan konteks antara kehidupan rumah tangga kita sekarang dengan jaman dulu. Hari ini kita hidup di dalam satu jaman, satu masa dimana pengaruh etika dan pemikiran daripada Kekristenan itu telah menjadi mayoritas di dalam kehidupan masyarakat kita sehingga pada waktu kita membaca bagian ini, kita mungkin menganggap nasehat Paulus ini adalah sesuatu yang biasa, kita menganggap memang demikianlah hubungan suami isteri; ada kasih, ada saling hormat, dsb. Tetapi ketika firman Tuhan ini ditulis dua ribu tahun yang lalu kepada satu budaya Yunani-Romawi dan orang Yahudi pada waktu itu firman ini sungguh-sungguh menjadi firman yang begitu revolusioner dan radikal luar biasa bagi mereka yang hidup pada waktu itu.

Paulus berkata, "Hai isteri, tunduklah kepada suamimu seperti kepada Tuhan, karena suami adalah kepala isteri sama seperti Kristus adalah kepala jemaat. Dalam terjemahan NIV "Wives, submit yourselves to your own husbands as you do to the Lord." Saya percaya di tengah gejolak gerakan Feminisme, di tengah perasaan bahwa wanita seringkali dijadikan sebagai objek yang diopresi, kita bisa berpikir bahwa firman Tuhan ini seolah-olah menjadi firman Tuhan yang membenarkan prilaku dan tindakan meninggikan dan mengidolakan maskulinitas dan menganggap wanita itu menjadi warga kelas dua di dalam masyarakat. Dan bisa jadi dengan adanya ayat seperti ini bisa menjadi senjata pembenaran bagi orang-orang tertentu bahwa wanita memang tidak memiliki hak dan posisi setara dengan pria, sehingga kaum wanita pada waktu membaca bagian ini mungkin akan mengerutkan kening dan merasa ada sesuatu hal yang mengganjal hati kita. Namun kita harus peka membedakan apa yang sesungguhnya firman Tuhan katakan atau ajarkan tentang peran gender dan hubungan suami isteri dengan penyalah-gunaan ayat-ayat sebagai senjata untuk pembenaran yang dipakai oleh laki-laki kepada perempuan, atau sebaliknya perempuan kepada laki-laki, sebagai kaum oppresor maupun yang merasa jadi korban. Kita harus membedakan hal itu. Kenapa? Mari kita melihat fakta perjalanan sejarah, kita harus melihat bahwa betapa perlu waktu yang panjang bagi wanita bisa mendapat kesetaraan di dalam pendidikan, di dalam dunia kerja, bisa mendapat hak memberi suara di dalam pemerintahan, dsb.

Dalam konteks budaya Yunani-Romawi dua ribu tahun yang lalu, pada waktu Paulus bilang kepada para isteri untuk hormat, tunduk, respek kepada suaminya di dalam segala hal keluar dari hati yang takut kepada Tuhan, itu bukanlah hal yang baru karena memang budaya waktu itu memang demikian, sehingga bukan sesuatu yang baru di telinga mereka. Tetapi kuasa transformasi memahami hormat dan tunduk ini adalah sesuatu yang luar biasa. Engkau tunduk bukan karena budaya kultur di luar berkata demikian; engkau tunduk bukan karena dicipta lebih rendah daripada pria. Sikap hormat dan tunduk itu datang dari sikap hormat dan tunduk kepada Kristus dan Kristuslah yang menjadi pattern dan contoh kita. Maksudnya adalah kita menghormati suami berdasarkan karena hormat kita kepada Yesus Kristus. Kita menjadikan sikap Kristus yang walaupun dalam rupa Allah tidak menganggap kesetaraan dengan Allah itu sebagai milik yang harus dipertahankan, melainkan telah mengosongkan diriNya sendiri dan mengambil rupa sebagai hamba dan menjadi sama dengan manusia (Filipi 2:6-7). Inilah yang menjadi pola dan model bagi kita semua bukan saja bagi wanita, tetapi juga bagi semua pria apa artinya taat sebagaimana Kristus berkata "Bukan kehendak-Ku tetapi kehendakMu yang jadi ya Bapa," padahal Ia setara dengan Allah Bapa tetapi Ia tidak mempertahankan kesetaraan itu. Sehingga firman Tuhan ini luar biasa dua ribu tahun yang lalu sebab menjadi firman yang sangat relevan bagi kita sampai sekarang. Poin ke dua yang mengejutkan adalah pada waktu Paulus memberikan nasehat kepada para isteri di sini tunduklah, hormatlah kepada suamimu seharusnya secara logis paralelnya suami mendapat hak untuk menguasai dan mengatur isterinya. Tetapi firman Tuhan tidak mengatakan demikian. Sebaliknya Paulus berkata, "Hai suami, kasihilah isterimu sebagaimana Kristus telah mengasihi jemaat dan telah menyerahkan diri-Nya baginya untuk menguduskannya, sesudah Ia menyucikannya dengan memandikannya dengan air dan firman, supaya dengan demikian Ia menempatkan jemaat di hadapan diri-Nya dengan cemerlang tanpa cacat atau kerut atau yang serupa itu, tetapi supaya jemaat kudus dan tidak bercela. Demikian juga suami harus mengasihi isterinya sama seperti tubuhnya sendiri: Siapa yang mengasihi isterinya mengasihi dirinya sendiri. Sebab tidak pernah orang membenci tubuhnya sendiri, tetapi mengasuhnya dan merawatinya, sama seperti Kristus terhadap jemaat, karena kita adalah anggota tubuh-Nya." Panggilan pertama, kasihilah isterimu seperti Kristus mengasihi jemaat. Kasih Kristus kepada jemaatNya adalah sacrificial love, kasih yang berkorban. Panggilan ke dua, kasihilah isterimu seperti engkau mengasihi dirimu sendiri. Artinya jikalau engkau tidak melakukan ini engkau tidak menghina akan orang lain tetapi itu berarti engkau memperlakukan dirimu dengan buruk adanya, itulah artinya. Kita bukan menampar atau merendahkan orang lain tetapi itu berarti engkau memperlakukan penghinaan itu kepada dirimu sendiri.

Budaya Yunani-Romawi dan budaya Yahudi pada waktu itu memperlakukan wanita atau isteri dengan tidak baik. Kita bisa memahami akan situasi dan kondisi perlakuan masyarakat pada waktu itu dari Yohanes 4:27 "Pada waktu itu datanglah murid-murid-Nya dan mereka heran, bahwa Ia sedang bercakap-cakap dengan seorang perempuan. Tetapi tidak seorangpun yang berkata: "Apa yang Engkau kehendaki? Atau: Apa yang Engkau percakapkan dengan dia?" Kata "heran" di sini berkonotasi mereka memandang Yesus dengan mata dan sikap yang menghina saat melihat Yesus sedang mengobrol dengan seorang wanita. Waktu itu pria tidak lazim mengobrol dengan wanita padahal Alkitab memperlihatkan jauh sebelumnya kultur di Israel dalam Perjanjian Lama tidak menyatakan sikap merendahkan kepada perempuan. Kita bisa melihat ada nabiah dan hakim wanita bernama Deborah (Hakim-Hakim 4-5) dan ada Abigail isteri Nabal yang bisa bicara dan diskusi dengan Daud dan Daud tidak memandang rendah wanita seperti itu (1 Samuel 25). Namun setelah bangsa Israel pulang dari Pembuangan [Exile] di situlah muncul kelompok orang yang kemudian menjadi kelompok Ahli Taurat dan orang Farisi yang belajar kitab suci dan ingin memurnikan ajaran Yudaisme muncul tafsiran-tafsiran dari para ahli Taurat dan rabi-rabi terkenal. Sehingga sampai kepada era Tuhan Yesus umum pria Yahudi berdoa seperti ini: Ya Allah, aku bersyukur sebab aku dilahirkan sebagai laki-laki dan bukan perempuan; sebagai orang Yahudi dan bukan orang kafir. Itulah kultur yang ada pada waktu Yesus bercakap-cakap dengan wanita Samaria, murid-muridnya heran. Apalagi bukan saja Yesus bercakap-cakap dengan dia, Yesus menghargai dia sebagai seorang Samaria, mereka kaget dan melihat dengan sikap menghina. Sampai sekarang kita harus akui di beberapa tempat tertentu masih ada kemiripan kultur dimana wanita tidak mendapatkan pendidikan dan wanita menjadi objek untuk keluarga keluar daripada kemiskinan sehingga umur 13 tahun sudah dinikahkan dengan pria yang jauh lebih tua usianya, hal yang umum terjadi.

Ketika Paulus menulis surat ini kepada jemaat Efesus, di tengah kultur Yunani-Romawi mereka boleh dengan gampang dan mudah melepaskan pasangannya atau menikah demi untuk menjadikan wanita itu sebagai properti dan memperlakukan isteri dengan semaunya.

Point yang ke tiga adalah Paulus membawa kita kembali kepada esensi daripada pernikahan di dalam Kekristenan dengan mengutip Kejadian 2:24, "Sebab itu laki-laki akan meninggalkan ayahnya dan ibunya dan bersatu dengan isterinya, sehingga keduanya itu menjadi satu daging." Kalimat ini bukan saja bicara mengenai relasi intimasi seksual, tetapi memiliki makna yang dalam luar biasa. Pernikahan itu berarti satu hubungan suami isteri dimana seseorang itu mengambil memilih orang yang asing [stranger] menjadi pasanganmu dan orang itu bukan saudaramu, tidak ada relasi hubungan darah dan engkau masing-masing meninggalkan ayah dan ibumu dan kemudian bergabung menjadi satu daging, ini satu kesatuan yang luar biasa misteri. Dan tidak ada relasi yang lebih dekat dan erat daripada hubungan suami dan isteri. Itulah artinya sebuah pernikahan. Di situlah Kristus menjadi Tuhan dan Kepala atas keluarga dan relasi suami isteri yang begitu berbeda dalam banyak hal, dengan latar belakang yang berbeda bisa bersatu di dalam Dia karena hanya kasih Kristus yang sanggup bisa menyatukan kita dekat dan intim melalui sebuah pernikahan di dalam Yesus Kristus. Dan pada waktu Paulus katakan satu daging bukan saja bicara mengenai bentuk pernikahan yang monogami, tetapi bicara mengenai sesuatu yang bersatu dan tidak bisa diseparasi.

Ada dua ayat yang memperlihatkan budaya pada waktu itu adalah budaya yang tidak melihat pernikahan atau relasi suami isteri seperti yang Alkitab katakan walaupun orang-orang Yahudi pada waktu itu tahu dan juga terima pernikahan itu bersifat monogamis tetapi kita bisa melihat betapa mudahnya mereka bisa menceraikan isteri dengan alasan apa saja. Dalam Matius 19:3 kita bisa melihat ini: Maka datanglah orang-orang Farisi kepada-Nya untuk mencobai Dia. Mereka bertanya: "Apakah diperbolehkan orang menceraikan isterinya dengan alasan apa saja?" Mereka bukan orang-orang yang tidak belajar agama; mereka adalah ahli-ahli Taurat dan orang-orang Farisi. Ada aliran yang mengijinkan perceraian jikalau salah satu pihak melakukan perbuatan yang tidak senonoh dalam arti kata ada ketidak-setiaan seksual dari salah satu pasangan itu bisa menjadi alasan sebuah perceraian. Tetapi ada yang mempunyai konsep dan pandangan orang boleh menceraikan isterinya dengan alasan apa saja; bisa dengan alasan suami sudah tidak suka lagi dengan penampilan isterinya, wajahnya tidak menarik, dsb. Itu artinya dengan alasan apa saja.

Dalam budaya Yunani-Romawi yang bisa kita lihat dalam 1 Timotius 5:14-16 Paulus memberi nasehat pengaturan rasul Paulus kepada dua kelompok janda yang ada di gereja. Nampak dan umum gereja menjadi satu tempat komunitas yang sangat indah menerima janda-janda tua yang jelas pada waktu itu tidak tahu bagaimana mereka bisa mencukupkan kebutuhan hidupnya maka Paulus memberikan pengaturan kepada janda-janda yang tua ini. Lalu ada janda-janda yang muda yang juga masuk ke dalam gereja. Bagian ini tidak memberitahukan kepada kita apa penyebab kejandaannya. Kita bisa melihat beberapa faktor. Faktor yang pertama, mereka menjadi janda-janda muda karena suami mereka meninggal muda. Faktor yang ke dua, suami meninggal di medan perang. Atau faktor yang ke tiga, mereka adalah janda-janda yang diceraikan oleh suaminya dengan tidak adil dan tidak benar, yang tentu tidak punya kekuatan dan kemampuan ekonomi dsb, maka gereja menjadi sebuah komunitas menanggung mereka. Dan ada indikasi dimana bisa jadi sebagian di antara mereka mungkin terjebak dan jatuh di dalam prostitusi untuk mencukupi kebutuhan hidup mereka. Kita coba menangkap indikasi dari persoalan pernikahan, perlakuan kepada wanita pada waktu itu berefek kepada bagaimana keadaan dan situasi komunitas gereja.

Yesus Kristus telah menyatakan kasihNya ketika kita masih lemah, ketika kita masih berdosa, dan ketika kita masih menjadi musuhNya (Roma 5:6,8,10). Kasih Kristus itu bukan saja menjadi satu teori yang kita pelajari dan yang kita dengar dari khotbah tetapi bagaimana pola kasih Kristus itu menjadi pola dan model di dalam relasi kita. Kuasa yang ada di dalam kasih Kristus yang menyucikan dan menguduskan kita. Di dalam kasih itu kita boleh saling mengasihi satu dengan yang lain. Di dalam kasih itu kita boleh saling menghargai dan menghormati dan mengampuni satu dengan yang lain. Paulus bicara mengenai relasi suami isteri itu dengan panjang lebar bicara mengenai apa yang Kristus lakukan kepada jemaat-Nya. "Kristus telah mengasihi jemaat dan telah menyerahkan diri-Nya baginya untuk menguduskannya, sesudah Ia menyucikannya dengan memandikannya dengan air dan firman, supaya dengan demikian Ia menempatkan jemaat di hadapan diri-Nya dengan cemerlang tanpa cacat atau kerut atau yang serupa itu, tetapi supaya jemaat kudus dan tidak bercela" (Efesus 5:25-29).

Ada tiga kuasa dari kasih Kristus itu disebut di sini: kuasa kebenaran [the power of truth], kuasa kasih [the power of love] dan kuasa kasih karunia [the power of grace]. Yang pertama, kuasa kebenaran, the power of truth yaitu kuasa untuk membersihkan kesalahan dan noda dosa kita melalui kuasa kebenaran Kristus di dalam diri kita. Dalam pernikahan bagaimana kita bisa melihat kuasa kebenaran Kristus itu terjadi secara praktis dalam hidup kita? Seorang hamba Tuhan mengatakan di dalam pernikahan tidak ada tempat bagi kita untuk bersembunyi karena memang sifat daripada pernikahan itu adalah dimana dua orang yang berbeda masuk ke dalam sebuah hubungan yang terdekat dan di situ pernikahan itu akan menjadi cermin yang membuat kita melihat segala cacat cela, kekurangan dan kelemahan kita yang kita tidak bisa sembunyikan. Di dalam relasi-relasi yang lain mungkin kita bisa menyembunyikan kelemahan dan kekurangan kita dari teman dan orang lain. Tetapi ketika relasi itu menjadi satu daging, dua pribadi yang sama sekali berbeda bertemu, betapa mudah terjadi percikan. Pasangan kita yang paling tahu kita itu penakut, kita itu tidak sabaran, kita itu suka memaksa, kita itu tidak disiplin, kita itu adalah seorang yang sangat negatif di dalam berpikir, kita itu mudah tersinggung, kita orang yang perfeksionis dalam hidup ini, kita simpan dendam, kita tidak mudah untuk melupakan kesalahan orang, kita orang yang berhitungan, pelit dan irit, dsb. Orang lain tidak lihat, isteri kita lihat. Tidak ada yang bisa kita sembunyikan dari pasangan kita. Jangan mempersalahkan pernikahan itu, karena bukan pernikahan itu yang membuka kejelekan kita, pernikahan itu yang membuka kita apa adanya. Waktu kita hidup sendiri, kita bisa mengatur hidup kita seturut kenyamanan kita tetapi pada waktu kita menikah dan memiliki sebuah relasi yang intim dan dekat, pernikahan itu mempunyai the power of truth. Persoalannya pada waktu kita menyatakan kekurangan dan kelemahan pasangan kita, kita harus hati-hati kita jangan menjadi self-righteous. Maka kenapa Paulus ingatkan biarlah kasih Kristus itu memenuhi hidup kita sehingga pada waktu terjadi percekcokan atau ketidak-setujuan di antara kita tidak boleh menjadi tujuan untuk merusak dan menghancurkan tetapi itu mengasah kita bertumbuh bukan terus melihat kekurangan pasangan tetapi melihat kekurangan dan kelemahan kita. Di situlah natur daripada Kristus sebagai Kepala rumah tanggamu akan menyucikan dan membersihkan kita.

Yang ke dua, di dalam relasi dua pribadi yang berbeda menjadi satu daging itu membutuhkan kuasa kasih, the power of love. Sangat menyedihkan jikalau ada pengalaman traumatik di antara anak-anak muda melihat ketidak-harmonisan dan ketidak-suksesan daripada pernikahan orang tua mereka lalu akhirnya membuat mereka tidak mau menikah karena melihat pernikahan itu tidak membahagiakan, dsb. Atau mungkin ada orang-orang tertentu mengalami penolakan yang tidak ada habis-habisnya sehingga senantiasa berada di dalam perasaan self-image yang rendah. Mungkin kegagalan di dalam relasi pacaran sebelumnya membuat engkau merasa tidak ada kasih yang sejati itu; sampai kepada satu titik ada satu orang yang mengasihimu apa adanya, di situ pernikahan itu mengalami the power of love. Kuasa mencintai mengasihi itu bukan menunggu orang itu berada di dalam kesempurnaan dan perfection tetapi sebuah kasih yang menerima pasangannya apa adanya dan tidak melihat kelemahan kekurangan kita, di situ menjadi keindahan dan kesempurnaan. Di situ kita harus bersyukur kepada Tuhan, kita bisa merasakan kasih Tuhan melalui kasih daripada suamiku, melalui kasih daripada isteriku. Sehingga kita bisa menemukan ada pasangan yang sampai akhir hidup mereka dalam keadaan sakit dan susah dia menjadi orang yang terakhir berada di sisinya sampai menghembuskan nafas terakhir. Kita bersyukur kita boleh memiliki kasih seperti itu; kita bersyukur kita menjadi orang yang sanggup bisa menyatakan kasih kita kepada suami atau isteri kita karena kasih Kristus mempunyai kuasa yang menyembuhkan.

Yang terakhir, there is the power of grace di dalam pernikahan. Tidak ada relasi yang tidak membutuhkan pengampunan dan penerimaan. Tidak pernah ada satu orang yang berada dalam posisi tidak membutuhkan pengampunan dan penerimaan satu dengan yang lain. Tidak ada orang yang selalu berada di posisi selalu benar dan tidak membutuhkan pengampunan orang lain. Orang membutuhkan pengampunan kita, kita pun membutuhkan pengampunan dari orang lain. Itu adalah the power of grace dalam relasi itu. Hanya ada dua hal yang perlu, mari kita belajar menjadi orang yang senantiasa rendah hati. Mungkin kita sukar untuk mengampuni dan mengasihi orang. Mungkin kita tidak sanggup untuk menerima dia terus-menerus melakukan kesalahan yang sama. Kita merasa capek dan lelah dengan suami atau isteri yang terus saja mengulang entah berapa kali kita sudah mengampuni dan memaafkan dia tetapi tidak pernah ada perubahan. Kita perlu kerendahan hati karena kita tidak selalu berada dalam posisi selalu benar. Yang ke dua kita perlu memenuhi bejana emosi kita dengan kekayaan kasih Kristus. Kalau kita menjadi orang yang selalu tekor dengan kasih, selalu menuntut orang lain mengasihi dan selalu menjadikan diri sentral, menuntut orang lain untuk memuji kita, menghargai kita dsb, itu menunjukkan kita adalah orang yang terus ingin menarik kasih orang lain kepada kita dan itu tidak akan ada habis-habisnya. Kecuali hari ini engkau dan saya dipenuhi dengan Roh Kudus barulah kasih Allah itu mengalir di dalam diri. Kalau tabungan emosi kita penuh dengan kasih Kristus yang mengasihi kita apa adanya, kita akan menjadi orang yang penuh dengan grace di dalam hidup kita. Kiranya Tuhan berkati engkau dan saya pada hari ini untuk mengalami satu kuasa transformasi di dalam hubungan relasi sebagai suami dan sebagai isteri, sebagai anak-anak Tuhan di dalam hidup kita. Mungkin ada di antara kita yang lelah mendayung akan perahu kehidupan rumah tangga seorang diri; mungkin rumah tanggamu penuh dengan pertikaian dan keterlukaan tidak ada habis-habisnya. Kiranya firman Tuhan ini menjadi firman yang menguatkan, mendorong, menghibur dan mengasihi setiap kita sehingga kehidupan keluarga kita juga boleh dipulihkan dengan kasih Tuhan. Jangan biarkan ada perasaan pesimis, kecewa, kesedihan dan sakit hati di tengah kita karena tidak ada hal yang tidak mungkin dipulihkan kecuali kita belajar untuk merendahkan diri masing-masing untuk menerima kasih Tuhan di tengah-tengah kita.(kz)

Previous
Previous

Kasih dan Respek dalam Hubungan Suami Isteri

Next
Next

Hiduplah Penuh Roh Kudus