Live a Life Worthy of Your Calling

Ringkasan Khotbah

Pengkhotbah: Pdt. Effendi Susanto STh.

Nats: Efesus 4:1-6

Hari ini kita masuk kepada bagian ke dua daripada surat Efesus yang seluruhnya terdiri dari enam pasal. Bagian yang pertama adalah pasal 1-3 dimana Paulus berbicara mengenai fondasi teologis yang penting dari apa yang Allah telah kerjakan di dalam hidup kita dan bagaimana secara ajaib dan misteri Ia telah menjadikan kita semua sebagai umatNya, GerejaNya di dalam dunia ini dari berbagai suku bangsa dan Bahasa; di dalam Kristus kita telah dipersatukan. Bagian ke dua pasal 4-6 Paulus bicara mengenai aplikasinya, mengenai etikanya, bagaimana kita mempraktekkan apa yang dikatakan oleh firman Tuhan dalam hidup kita sehari-hari sebagai Gereja-Nya.

Efesus 4:1-6, Paulus berkata, “Sebab itu aku menasihatkan kamu, aku, orang yang  dipenjarakan karena Tuhan, supaya hidupmu sebagai orang-orang yang telah dipanggil berpadanan dengan panggilan itu. Hendaklah kamu selalu rendah hati, lemah lembut, dan sabar. Tunjukkanlah kasihmu dalam hal saling membantu. Dan berusahalah memelihara kesatuan Roh oleh ikatan damai sejahtera: satu tubuh, dan satu Roh, sebagaimana kamu telah dipanggil kepada satu pengharapan yang terkandung dalam panggilanmu, satu Tuhan, satu iman, satu baptisan, satu Allah dan Bapa dari semua, Allah yang di atas semua dan oleh semua dan di dalam semua.”     

Tema khotbah hari ini: Live a Life Worthy of Your Calling, Hiduplah Berpadanan dengan Panggilanmu, diambil dari Efesus 4:1. Ayat ini menjadi kata kunci yang penting bagi pasal 4, 5, dan 6 yang akan kita lihat di minggu-minggu mendatang. Ayat ini dimulai dengan satu kata: “Sebab itu” ini yang menjadi dasar dari panggilan Paulus yaitu agar hidup kita yang sudah mengalami penebusan dan pengampunan dari Yesus Kristus berpadanan dengan panggilan itu sebagai respon kepada apa yang Allah kerjakan di pasal 1-3 itu seperti kita sedang melihat Tuhan memperlihatkan sebuah lukisan yang sudah lengkap dan sempurna. Inilah lukisan yang indah mengenai karya Allah satu hari kelak di atas dunia yang penuh dengan dosa, peperangan, kelaparan, sakit penyakit, penderitaan dan hal-hal yang membuat air mata kita keluar, mungkin kita bertanya sampai kapan Tuhan kami melihat semua yang jahat dan berdosa ini akan hilang lenyap? Ia telah nyatakan itu melalui keselamatan di dalam Kristus sehingga kita menantikan langit dan bumi yang baru itu akan ada dan nyata dan itu menjadi pengharapan kita ke sana. Seperti visi yang dilihat oleh rasul Yohanes dimana orang-orang dari segala suku bangsa dan bahasa mengelilingi tahta Allah sambil memuji dan menyembah Allah. Kemudian pasal 4-6 kita sedang diperlihatkan kepada lukisan yang ada di bawah yang masih belum jadi, masih berupa sketsa yang berantakan. Kita bertanya-tanya, kapan lukisan ini bisa kita selesaikan? Jangan takut, jangan kuatir dan jangan gelisah karena Allah akan sempurnakan semua itu nanti, tetapi jangan hanya melihat cat yang berantakan, sketsa yang belum jadi, akhirnya membuat kita menyerah untuk menyelesaikannya.

Maka Paulus di ayat 1 berkata hendaklah hidupmu berpadanan dengan panggilan itu. Kata “berpadanan” dalam bahasa aslinya adalah axios yang artinya worthy of, deserving of, suitable, bicara mengenai hukum yang seimbang. Jelas sekali pada waktu Paulus mengatakan biarlah kita yang telah ditebus, dipanggil menjadi umat Tuhan, menjadi Gereja-Nya di atas muka bumi ini, bagaimana kita hidup berpadanan dengan panggilan itu? Masing-masing kita dipanggil sebagai orang yang berbeda, dengan latar belakang yang berbeda untuk masuk di dalam satu komunitas gereja. Kita tidak dipanggil untuk menjadi seragam [uniform] tetapi kita dipanggil untuk menjadi satu di tengah perbedaan kita. Ketika gereja berkumpul; ketika orang yang berbeda datang dari segala suku bangsa, itu menjadi satu kemungkinan terjadinya disunity. Maka point yang paling pertama Paulus bicara mengenai bagaimana kita sebagai umatNya menjadi satu di tengah perbedaan yang ada [how to bring unity in diversity].

Apa kualitas yang diminta kepada kita untuk hidup berpadanan dan bersatu di tengah perbedaan kita? Yang pertama, Paulus berikan prinsipnya dalam Efesus 4:2, “Hendaklah kamu selalu rendah hati, lemah lembut, dan sabar. Tunjukkanlah kasihmu  dalam hal saling membantu.” Ada empat hal yang Paulus bicarakan di sini: humility, meekness, patience, and bearing one another in love. Inilah empat karakter spiritual yang kita perlukan untuk membangun persatuan di dalam kehidupan kita bergereja, di dalam berelasi satu dengan yang lain. Dua karakter humility and meekness, adalah dua karakter yang Yesus Kristus katakan sebagai karakter milik-Nya sendiri, “Belajarlah daripada-Ku karena Aku lemah lembut dan rendah hati” (Matius 11:29). Dua karakter spiritual bicara mengenai bagaimana menghadapi apa yang dari luar atau orang lakukan kepada saya. Rendah hati dan lemah lembut itu jarang muncul sebagai karakter yang penting di dalam literatur Yunani kuno pada waktu itu dan cenderung punya makna negatif dan yang dihina karena menunjukkan kelemahan seseorang. Bagi orang Yunani seseorang yang dianggap agung [great] adalah kalau dia memiliki keberanian, kekuatan, kebenaran [courage, strength, truthful]. Humility and meekness hanya bagi orang-orang yang kalangan rendah sehingga tidak pernah dianggap sebagai sesuatu yang berharga dan dikagumi.

Apa yang menjadi tanda seseorang memiliki karakter yang rendah hati dan lemah lembut? Itu bisa dilihat dari bagaimana kita bereaksi terhadap kritikan orang terhadap kita. Dan sebaliknya, itu juga bisa dilihat dari apakah kita juga menjadi orang yang terlalu cepat menilai dan membicarakan kesalahan orang lain namun pada waktu hal yang sama diberikan kepada kita, kita tidak sanggup menerimanya. Jiwa yang tidak lemah lembut dan tidak rendah hati akan sangat sensitif terhadap kritikan dan pada waktu kritikan itu datang apa jawaban yang paling sering keluar dari mulutnya? “Ya sudah, kalau memang mau begitu, kamu saja yang lakukan sendiri.” Setiap kita yang menjadi gembala di dalam sebuah gereja atau youth pastor, atau kita yang dipercayakan menjadi seorang koordinator dalam pelayanan, guru Sekolah Minggu, kita yang menjadi mentor, kita yang menjadi music director, kita yang menjadi elders di dalam gereja; setiap kita tidak akan lepas dari penilaian dan kritikan orang. Jangankan kita, Tuhan kita Yesus Kristus pun terus mengalami kritikan dan tuduhan dari orang sepanjang pelayananNya di dunia. Orang mengkritik motif-Nya, orang mengkritik cara pelayanan-Nya, orang mengkritik perlakuan-Nya kepada orang yang dianggap berdosa waktu itu, orang mempertanyakan apa yang Yesus lakukan, orang menuduh Dia dengan tidak ada alasan. Jadi bukan soal ada yang salah di dalam diri Tuhan kita Yesus Kristus, bukan? Sehingga kita tidak lepas dari kritikan atas segala sesuatu yang kita kerjakan. Itulah sebabnya dalam bagian ini rasul Paulus mengingatkan kepada setiap kita untuk rendah hati dan lemah lembut terutama pada waktu kita menghadapi serangan daripada orang lain, sekalipun itu adalah hal yang tidak gampang dan tidak mudah tetapi itu adalah spiritual karakter yang harus dan mutlak ada waktu kita berusaha menjadi seorang yang membawa keutuhan dan kesatuan.

Menghadapi kritikan itu memang tidak gampang tetapi jika kita terus berkubang di dalam hal-hal seperti itu, kita akan lelah dan cape. Saya pernah mendengar seorang pendeta mengeluh waktu dia berkhotbah mengenai persembahan, sehabis kebaktian ada yang menghampiri dia dan bilang: Pak Pendeta, kenapa khotbahmu selalu bicara mengenai uang? Pendeta itu menjawab: Saya cuma berkhotbah mengenai persembahan sekali setahun. Orang itu lalu senyum-senyum, kenapa? Karena dia datang ke gereja sekali setahun, dan pas tahun lalu pak pendeta kebetulan berkhotbah mengenai persembahan. Sdr akan mendengar kritikan program di Kids Church terlalu susah, koq dikasih pe-er segala. Atau sebaliknya ada orang tua berkomentar: anak saya tidak diajar apa-apa di Kids Church. Ada yang berkomentar: aku tidak suka dengan musiknya; lalu ada lagi yang bilang: musiknya tidak sesuai dengan jaman. Engkau mungkin mendengar kritikan: khotbahnya kurang dalam. Lalu ada yang bilang: khotbahnya terlalu berat. Ada yang komentar: hari ini khotbahnya agak Panjang. Lalu minggu depan ada komentar: Lho, khotbahnya pendek sekali, saya baru saja datang, eh, sudah selesai. Jikalau pendeta memakai sebuah ilustrasi, jemaat lalu komentar: Kenapa pak pendeta hari ini menyindir saya? Satu kali seorang pendeta mengutip seorang pendeta lain dalam khotbahnya, lalu sehabis itu ada yang komentar: kenapa bapak mengutip kalimat pendeta itu? Dia bukan orang Reformed, dia Armenian. Tetapi waktu lain kali pendeta mengutip kalimat Kongfucu, dia malah sangat senang.

Dua karakter spiritual yang ke dua di ayat ini bicara mengenai bagaimana menghadapi apa yang dari luar atau orang lakukan kepada saya itu perlu kesabaran dan kerelaan untuk menanggung kelemahan satu dengan yang lain di dalam kasih, patience and bear one another in love. Di tengah diversity yang berbeda, kita dipanggil untuk lapang dada bisa menyambut satu dengan yang lain. Kita tidak bisa meminta orang itu harus seragam dan sama dengan kita. Yang diperlukan adalah tangan yang luas, hati yang lapang dan terbuka dalam kita mengerti perbedaan itu.

Mari kita belajar untuk tidak segera marah dan defensive kepada orang yang mungkin melakukan sesuatu kepada kita, atau bereaksi dengan mudah untuk give up atau meninggalkan atau akhirnya menjadi cape dan masa bodoh. Mari kita belajar untuk memiliki kesabaran dan keinginan untuk menanggung kelemahan satu dengan yang lain. Godaan yang terbesar ketika kita dikritik orang; godaan yang terlalu besar ketika rencana kita dihambat; godaan kita yang paling besar ketika selalu ada resistansi, ada kesusahan kesulitan, up and down di dalam hidup kita akhirnya membuat spirit kita menjadi layu dan lebay. Kita berhenti dan kita mulai menggerutu; kita menyerah dan lalu kemudian kita mempersalahkan orang lain. Itu godaan kita; itu bisa terjadi dengan seketika.

Mungkin sdr akan bertanya, sampai kapan saya harus menanggung kelemahan orang? Itu bukan hal yang gampang, bagaimana kita berlaku kepada orang lain yang terus saja jatuh di dalam kelemahan yang sama kita menjadi orang yang sabar dan tahan. Tetapi pada waktu firman Tuhan ini teraplikasi dalam hidup engkau dan saya, kita tidak akan menjadi jemaat yang disunity dalam komunitas kita. Yesus mengatakan bagaimana kita bisa mengasihi? Biar kita mengasihi seperti Bapa kita mengasihi, kita senantiasa dibawa kepada lukisan itu. Dan pada waktu kita hanya mengasihi orang yang mengasihi kita, kita hanya membalas balik orang yang berbuat baik kepada kita, Yesus bilang apa gunanya, apa bedanya engkau dengan orang-orang lain yang tidak mengenal Tuhan karena mereka juga berbuat hal yang sama? Kalau kita hanya memberkati orang yang memberkati kita, apa faedahnya? Tetapi biarlah engkau seperti Bapamu yang di surga, yang mengasihi orang-orang yang tidak tahu berterima kasih kepadaNya (Lukas 6:27-36).

Selanjutnya, kualitas yang diminta kepada kita untuk hidup berpadanan dan bersatu di tengah perbedaan kita, yang ke dua, di ayat 4-6, “satu tubuh, dan satu Roh, sebagaimana kamu telah dipanggil kepada satu pengharapan yang terkandung dalam panggilanmu, satu Tuhan, satu iman, satu baptisan, satu Allah dan Bapa dari semua, Allah yang di atas semua dan oleh semua dan di dalam semua.” Di sini sebaliknya bisa terjadi di dalam menghadapi diversity yang ada demi untuk unity akhirnya kita bisa jatuh kepada sikap kompromi, tidak memikirkan apa yang harus mempersatukan kita. Firman Tuhan mengingatkan tidak boleh dengan alasan atas nama unity itu akhirnya membuat kita menerima apa saja dan siapa saja, kita menjadi tidak berani mengatakan bahwa perbedaan yang ada itu mungkin sesuatu yang tidak benar, yang tidak sepatutnya kita terima, dan tidak bisa menyatukan kita dengan orang itu. Kesatuan keutuhan yang kita tidak boleh kompromi akan apa yang menjadi iman kepercayaan kita. Di ayat 4-6 ini Paulus memberikan aspek-aspek yang harus menjadi pemersatu di tengah perbedaan yang ada dalam komunitas umat Allah sehingga prinsip kesatuan kita itu berdasar kepada sebuah pattern yang harus mutlak: Allah kita adalah Allah Tritunggal. Di sini kita bisa melihat Allah dalam tiga Pribadi yang berbeda, Bapa, Anak, dan Roh Kudus yang mengerjakan pelayanan mereka masing-masing dengan keunikan masing-masing. Allah Bapa yang di dalam kekekalan telah merencanakan keselamatan dan telah memilih kita sebelum dunia dijadikan. Allah Anak yaitu Yesus Kristus mati di kayu salib menggenapkan keselamatan dan penebusan itu dengan darahNya yang suci dan mahal itu. Allah Roh Kudus menggerakkan dan mempertobatkan orang itu kepada Kristus. Maka kita melihat masing-masing melakukan hal yang berbeda tetapi mereka adalah Allah yang Esa dan satu, itulah polanya. Dengan demikian pattern daripada unity kita adalah seperti Allah kita yang Tritunggal itu. Dan aspek yang mempersatukan kita adalah karena kita mempunyai Tuhan yang sama, iman yang sama, pengharapan yang sama, baptisan yang sama. Sekalipun denominasi kita berbeda, sekalipun ada gereja dengan etnis yang berbeda, kita adalah saudara seiman di dalam Tuhan. Kita dipanggil untuk boleh belajar melihat satu dengan yang lain itu sebagai sebuah keutuhan. Pengakuan Iman Rasuli yang kita pegang menyatukan kepercayaan kita kepada Allah Bapa, Allah Anak, dan Allah Roh Kudus menjadi point sentral yang penting akan Siapa yang kita percaya sama-sama. Sehingga pada waktu ada orang yang mengatakan saya adalah orang Kristen tetapi kita tahu kepercayaannya mengenai Allah Tritunggal berbeda, maka kita mengatakan kita tidak satu dengan mereka. Bukan karena kita membenci mereka, tetapi karena kita tahu apa yang mempersatukan kita. Dalam aspek sebagai gereja lokal, mari kita tarik aplikasi praktisnya ketika Tuhan mempercayakan setiap kita masuk ke dalam komunitas sebuah gereja lokal, kita harus akui tidak semua hal bisa kita kerjakan dalam kapasitas gereja lokal. Tuhan panggil dalam pelayanan yang berbeda-beda, tetapi pada waktu kita mengerjakan tugas dan panggilan yang Tuhan beri kepada kita, jangan kita menjadi malu dan berpikir kita belum melakukan semuanya, karena panggilan Tuhan kepada setiap kita itu adalah panggilan yang memang tidak mungkin kita kerjakan semuanya. Tetapi pada waktu kita bisa melihat big picture dari apa yang Tuhan kerjakan, dengan gereja yang lain, pelayanan yang lain, dsb, kita akan mengucap syukur dan berbesar hati melihat bagaimana Allah mengerjakan semua itu dengan lengkap, indah, dan sempurna. Kita gampang mungkin bisa mengkritik kepada kehidupan gereja kita ketika kita membandingkan dengan gereja yang lain atau pelayanan yang lain ketika kita tidak mengerjakan seperti yang mereka kerjakan. Tetapi mari kita menaruh hati kita ke sana, mereka mungkin melihat kita dan mengatakan ada yang kita kerjakan tidak bisa mereka kerjakan karena perbedaan seperti itu. Pastor Rick Warren memberikan prinsip ini yaitu mari kita fokus kepada the common purpose. Apa common purpose kita sebagai sebuah gereja yang Tuhan percayakan kita bisa duduk sama-sama, kita memikirkan apa yang Tuhan mau kita kerjakan dan lakukan, saya percaya itu point yang paling penting. Dan pada waktu kita kerjakan dan lakukan tentu Tuhan tidak pernah tuntut kita untuk melakukan apa yang tidak kita punya. Sebagai gereja migrant di kota ini dengan etnis kita sebagai orang Indonesia, pelayanan yang Tuhan beri di satu tempat seperti ini, apa yang ada pada kita, anak-anak kita, generasi muda kita, itu semua yang sedang dan ada di dalam kita, resources yang kita punya ada dua: resources orang dan resources keuangan dan benda yang kita miliki. Kita tidak memiliki banyak, tetapi biarlah kita menjadi orang yang membawa itu semua mempersatukan kita di dalam komunitas gereja ini. Ini menjadi goal yang paling penting, kita tidak terlalu lari kepada fokus kita sebagai gereja yang Tuhan percayakan kepada kita.

Sampailah kita kepada point yang ke tiga, Efesus 4:3, bagaimana kita membangun unity in diversity di dalam gereja, miliki karakter spiritual yang memang mendorong kita melakukan kesatuan itu. “Dan berusahalah memelihara kesatuan Roh oleh ikatan damai sejahtera.” Dalam terjemahan bahasa Inggrisnya put every effort, berusaha keras melakukan dengan sekuat tenaga. Kita dipanggil oleh Tuhan untuk put every effort and do not give up mengusahakan dengan sungguh dalam hidup kita mempertahankan dan menyatakan satu kesatuan dalam roh sebab Roh Allah yang tinggal di dalam kita adalah Roh yang suka kepada persekutuan yang indah di tengah-tengah anak-anak Tuhan. Apakah engkau sudah berusaha keras untuk sabar dan saling menanggung satu dengan yang lain? Apakah engkau sudah berusaha keras untuk rendah hati atau lemah lembut? Kalau kita sudah melukai hati orang lain, apakah kita sudah berusaha membalut luka itu? Kalau kita sudah diperlakukan dengan tidak baik oleh orang, apakah kita sudah berusaha keras untuk melakukan hal yang baik kepada orang itu? Seringkali mungkin kita tidak mau untuk berusaha karena pada waktu kita sudah berusaha keras dan tidak melihat hasilnya dengan serta merta kita menjadi lelah dan menyerah. Godaan untuk lebih mudah tinggalkan saja dan tidak perlu kita berusaha untuk berbuat apa-apa. Semua akan kacau dan berantakan. Tetapi untuk menjadikan teratur dan rapi, you need a lot of effort. Kata “put every effort” itu penting karena di situlah firman Allah mengingatkan kita membawa damai adalah pekerjaan seorang pejuang [fighter]. Menjadi fighter bukanlah menjadi seorang yang berperang sampai menang melawan orang lain, tetapi membawa damai itu adalah pekerjaan dari seorang fighter yang berusaha bagaimana melakukannya dengan sekuat tenaga kita.

Hari ini saya rindu firman Tuhan ini menjadi berkat bagi engkau dan saya. Banyak aspek di dalam keluarga kita, di dalam relasi kita satu dengan yang lain, kita harus mempunyai perasaan hati yang tidak gampang menyerah, menjadi silent dan masa bodoh. Tetapi firman Tuhan hari ini memanggil kita untuk sama-sama belajar untuk put every effort [untuk hidup berdamai dan memelihara kesatuan itu. Kiranya firman Tuhan ini boleh menjadi firman yang memanggil kita untuk hidup berpadanan dengan panggilan Tuhan sebagai respon syukur kita terhadap apa yang Tuhan sudah beri yaitu kasih dan pengampunan daripada Tuhan lebih daripada segala-galanya. Sehingga bukanlah sebuah kerugian pada waktu kita harus menjadi seorang yang sabar, murah hati dan penuh dengan belas kasihan kepada orang lain; bukanlah sebagai sesuatu jasa dan pengorbanan yang terlalu besar tetapi menjadi sebuah tanggung jawab untuk belajar bagaimana hidup seturut dengan kasih karunia Tuhan dalam hidup kita masing-masing.(kz)

Previous
Previous

Ciri Kedewasaan Rohani

Next
Next

Maukah Hidupmu Disusun Rapi oleh Kristus?