Pandangan Yesus tentang Perceraian

Ringkasan Khotbah

Pengkhotbah: Pdt. Effendi Susanto STh.

Nats: Markus 10:1-12

Markus 10:1-12 membukakan satu topik yang sangat sensitif dari persoalan hidup manusia yang sudah menjadi isu dan perdebatan bukan saja di zaman Tuhan Yesus tetapi juga jauh sebelumnya yaitu mengenai perceraian. Dan tidak lepas juga dalam kehidupan gereja sampai saat ini, bahwa pandangan terhadap persoalan pernikahan dan perceraian dan pernikahan kembali tetaplah menjadi sebuah topik yang membuat alis mata terangkat, mulut mungkin mencibir dan hati yang penuh dengan prasangka kepada persoalan itu. Namun pandangan dan sikap hati Yesus akan hal ini kiranya boleh menjadi teguran, kekuatan dan penghiburan bagi setiap kita bahwa Ia adalah Tuhan yang memperhatikan apa yang menjadi persoalan dan kegagalan di dalam relasi antar suami dan isteri dalam pernikahan.

Dalam bagian ini dikatakan orang-orang Farisi datang kepada Yesus dengan maksud untuk mencobai Dia dan mencari-cari kesalahan dari Yesus dan ingin memojokkan Yesus. Mereka bertanya kepada Yesus, "Apakah seorang suami diperbolehkan menceraikan isterinya dengan alasan apa saja?" Perlu kita tahu waktu itu ada dua arus tafsiran yang berbeda dari dua orang rabi mengenai hal perceraian ini. Yang satu adalah tafsiran dari rabi Hillel yang memberi penafsiran secara liberal terhadap kalimat dari Ulangan 24:1 "Apabila seseorang mengambil seorang perempuan dan menjadi suaminya, dan jika kemudian ia tidak menyukai lagi perempuan itu, sebab didapatinya yang tidak senonoh padanya, lalu ia menulis surat cerai dan menyerahkannya ke tangan perempuan itu, sesudah itu menyuruh dia pergi dari rumahnya.” Apa yang dimaksud dengan “yang tidak senonoh” ini? Rabi Hillel menafsirkannya seorang suami boleh menceraikan isterinya dengan alasan apapun yang dipandang tidak benar di mata suaminya. Itu bisa dalam hal temperamen isteri yang suka marah-marah, atau ketika isterinya kedapatan sedang mengobrol dengan pria lain yang bukan sanak famili, atau membuat roti yang gosong, atau kalau dia berbicara dengan tidak respek kepada mertuanya, dan seterusnya. Itu semua bisa menjadi alasan suami menceraikan isterinya. Bahkan Hillel juga bilang kalau sampai suami lebih tertarik kepada wanita lain yang lebih cantik, itupun boleh menjadi alasan dia menceraikan isterinya dan menikah lagi. Arus yang kedua mengikuti pengajaran rabi Shammai yang menafsir dengan lebih terbatas dimana yang dianggap tidak senonoh itu adalah prilaku seksual yang tidak sepatutnya yang dipandang sebagai amoral, atau kalau dia mengenakan baju memperlihatkan bagian tubuhnya, tetapi tidak sampai kepada perzinahan. Mengapa? Sebab di Perjanjian Lama dikatakan dosa perzinahan bukan dibayar dengan surat cerai tetapi dengan dirajam batu. Dalam peristiwa yang dicatat Yohanes 8:1-11 kita melihat sikap Yesus yang tidak merajam perempuan yang tertangkap basah berbuat zinah dengan batu, berarti tidak berarti Alkitab berkontradiksi, tetapi kita menemukan satu new light interpretation dari Yesus yang memberikan pengampunan dan anugerah kepada dosa perzinahan ini. "Akupun tidak menghukum engkau. Pergilah, dan jangan berbuat dosa lagi mulai dari sekarang." Kita bersyukur kita menjadi orang Kristen yang tidak melakukan syariah agama. Kita memang harus selalu kembali kepada Alkitab tetapi kita tidak menjalankan kultur pada saat Alkitab itu ditulis. Kultur budaya itu adalah sesuatu yang dihasilkan dari respon manusia sehingga budaya itu selalu mengalami perubahan dan perkembangan.

Kepada pertanyaan orang Farisi itu, Yesus menjawabnya dengan mengajak mereka masuk kepada apa yang menjadi dasar Alkitab, "Apa perintah Musa kepada kamu?" Jawab mereka: "Musa memberi izin untuk menceraikannya dengan membuat surat cerai." Jawaban mereka ini jelas mengacu kepada Ulangan 24:1-2, "Apabila seseorang mengambil seorang perempuan dan menjadi suaminya, dan jika kemudian ia tidak menyukai lagi perempuan itu, sebab didapatinya yang tidak senonoh padanya, lalu ia menulis surat cerai dan menyerahkannya ke tangan perempuan itu, sesudah itu menyuruh dia pergi dari rumahnya.” Hukum Musa mengizinkan perceraian secara legal ketika ada alasan yang solid dan ini menjadi dasar bagi suami itu untuk menikah kembali. Aturan itu diberikan oleh Musa untuk mengatur kehidupan di dalam masyarakat yang sudah jatuh dalam dosa dimana persoalan-persoalan relasi seperti ini bisa muncul sehingga perlu pengaturan hukum yang jelas terhadap hal-hal seperti ini.

Tetapi Yesus membawa mereka kepada hal yang jauh lebih penting, bicara mengenai awal mula tujuan dari pernikahan itu. Kata Yesus kepada orang-orang Farisi itu, “Sebab pada awal dunia, Allah menjadikan mereka laki-laki dan perempuan, sebab itu laki-laki akan meninggalkan ayahnya dan ibunya dan bersatu dengan isterinya, sehingga keduanya itu menjadi satu daging. Demikianlah mereka bukan lagi dua, melainkan satu. Karena itu, apa yang telah dipersatukan Allah, tidak boleh diceraikan manusia." Pada mulanya the original plan pernikahan itu didesain oleh Allah dengan menyatukan dua insan dalam satu ikatan kudus dan dalam pernikahan itu dua pribadi akan bersatu dan apa yang telah dipersatukan Allah, tidak boleh diceraikan manusia. Yesus sedang membawa kita kepada satu hal yang indah bicara mengenai pernikahan di taman Eden dimana pernikahan itu terjadi sebelum manusia jatuh dalam dosa. Pernikahan bukanlah kontrak sosial. Pernikahan itu adalah sebuah perjanjian (covenant) yang dibuat di hadapan Allah sebagai saksinya. Ini yang membuat kita harus hormat dan respek kepada pernikahan. Pernikahan terjadi bukan karena seseorang sudah dewasa dan ingin menikah, atau karena kesepian dan memerlukan pasangan hidup. Pernikahan bukan karena seseorang perlu mendapatkan belahan jiwanya supaya hidupnya lengkap. Bukan itu alasan yang benar bagi seseorang menikah. Sebagai orang percaya, pernikahan itu kita jalani dengan hormat dan respek karena pernikahan itu adalah sebuah peneguhan perjanjian dimana Tuhan sendiri hadir memberkati pasangan itu (Kejadian 2:21-24).

Tetapi sekarang kita hidup dalam satu realita akibat dari kejatuhan itu ada tiga komponen relasi yang rusak, yang dicatat dalam Kejadian 3. Yang pertama adalah rusaknya relasi kita dengan Tuhan. Kita lari menjauh dari Dia dan tidak mau mengaku kesalahan kita tetapi mempersalahkan yang lain. Yang kedua adalah rusaknya relasi antara manusia, khususnya dalam hubungan suami dan isteri. Akan terjadi saling ingin berkuasa (power struggle) antara suami isteri. Komponan yang ketiga adalah rusaknya relasi manusia dengan alam semesta. Di dalam pekerjaan ketidak-adilan muncul, bekerja menjadi berat dan susah. Kita menanam benih, tetapi yang tumbuh semak dan onak duri. Tetapi pada saat yang sama di tengah komponen yang rusak itu Allah menjanjikan akan ada shalom yang memberikan harmonis yaitu ketika benih perempuan akan meremukkan kepala si Ular, sumber penyebab segala kerusakan dosa itu (Kejadian 3:9-19).

Ada beberapa prinsip yang ingin Yesus tekankan di sini. Pertama, perceraian itu tidak boleh dilakukan secara serampangan, hanya berdasarkan ketidak-sukaan suami kepada isterinya, atau dengan alasan yang tidak solid secara biblikal. Maksudnya, karena bukan kita, manusia, yang membentuk pernikahan dari awalnya tetapi Allah, maka Dialah yang berhak memberikan “term and condition”-nya. Sehingga pada waktu keputusan bercerai itu tidak didasari kepada term and condition yang Allah berikan, maka perceraian itu tidak sah di mata Allah dan relasi orang itu dengan perempuan lain adalah relasi perzinahan.

Yang kedua, Allah kita membenci perceraian (Maleakhi 2:16). Namun dalam Yeremia 3:8, Allah melakukan tindakan menceraikan umat Israel, yang disebut-Nya “perempuan murtad itu” karena Israel telah berzinah dengan menyembah berhala-berhala bangsa lain. Dalam hal ini hubungan Allah dengan umat Israel dilihat sebagai sebuah relasi pernikahan kudus, relasi yang harus bersifat eksklusif dimana Allah mencintai umat-Nya tetapi umat-Nya berselingkuh dengan berhala sehingga Allah menceraikan Israel karena Allah mau melindungi kekudusan-Nya. Dengan demikian dari dua ayat ini kita bisa menyaksikan bahwa di tengah kejatuhan manusia dalam dosa maka ketika relasi antara suami isteri yang seharusnya kudus dan eksklusif itu dicemarkan oleh perselingkuhan dan perzinahan, Allah mengizinkan terjadinya perceraian dan melalui memberikan surat cerai yang sah, Allah ingin melindungi pihak yang dikorbankan dari perjanjian pernikahan kudus yang telah dilanggar oleh salah satu pihak.

Tetapi ketika gereja sudah terbentuk dan banyak orang Yahudi sudah tidak lagi hidup dalam kultur Yahudi dan sudah menjadi diaspora, tidak sedikit di antara mereka yang menikah dengan orang yang bukan Yahudi. Di sinilah gereja menghadapi kompleksitas dalam pernikahan campur seperti ini, dimana salah satu pihak menjadi orang Kristen dan pasangannya bukan Kristen, bagaimana gereja memberi prinsip yang benar mengenai perceraian. Dalam hal ini rasul Paulus memberikan prinsip-prinsip untuk gereja dalam 1 Korintus 7:10-15, dan khususnya ketika suami atau isteri yang tidak beriman melakukan desersi, mengabaikan relasi pernikahan itu dan meninggalkan isteri atau suaminya, maka perceraian itu dibenarkan oleh gereja. Dalam hal ini jikalau sang suami orang yang tidak percaya, Paulus katakan kita tidak bisa berbuat apa-apa terhadap dia. Tetapi jikalau hal itu dilakukan oleh seorang suami atau isteri Kristen yang membiarkan dan meninggalkan keluarganya, maka tentu dalam hal itu gereja harus aktif berbicara atau memberikan pelayanan pastoral kepada pasangan itu. Jikalau orang itu tidak menerima masukan dan teguran dan tetap ingin bercerai, maka gereja mendeklarasi perceraian itu terjadi.

Faktor yang ketiga masuk kepada soal yang lebih kompleks lagi, mungkin suami atau isteri itu tidak abai secara fisik, tetapi dia melakukan sesuatu tindakan abusif yang sangat berbahaya. Apakah disini kita boleh mengkategorikan aspek ini sebagai deserse yang mengizinkan perceraian terjadi? Tindakan kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) khususnya dari suami terhadap isteri secara data begitu memprihatinkan. Jika tidak dilakukan penanganan secara cepat dan tangkas melindungi kepada pihak yang lemah, hampir 100% kasus berakhir dengan pembunuhan. Maka dalam kasus-kasus seperti ini, saya secara pribadi mengambil sikap perceraian harus dilakukan segera untuk melindungi korban sebelum terlambat.

Yang terakhir, bagaimana pelayanan gereja dan setiap kita kepada orang-orang yang mengalami perceraian dan kegagalan mempertahankan pernikahannya? Ada dua arus mengenai sikap dan pandangan Kekristenan terhadap perceraian. Pandangan pertama adalah dari orang Kristen yang mengatakan bahwa pernikahan harus dipandang sebagai  sesuatu hal yang bersifat permanen, yang tidak bisa diceraikan. Ayat dari Maleakhi 2:16 menjadi dasar mereka karena Allah membenci perceraian, gereja tidak boleh mengijinkan terjadi perceraian. Dan kalau akhirnya terjadi perceraian, itu adalah dosa dan orang yang bercerai itu tidak boleh menikah lagi, dia harus tetap hidup sendiri (stay single) atau berusaha melakukan rekonsiliasi kecuali pasangan yang dia ceraikan itu meninggal dunia sebab Alkitab bilang seorang janda yang suaminya meninggal, boleh menikah lagi. Tetapi perempuan yang setelah bercerai kemudian menikah lagi ketika suaminya yang pertama masih hidup maka hubungan dia dengan suami yang baru adalah hubungan perzinahan. Kita menemukan sampai sekarang pandangan ini tetap ada di tengah-tengah sebagian gereja dan orang Kristen. Pandangan yang kedua adalah pandangan yang secara mayoritas diterima di dalam gereja-gereja Protestan, termasuk Reformed, Presbyterian dan Anglican dan gereja Baptist yang menerima dan mengizinkan adanya perceraian yang sah dengan alasan yang sah. Semua faktor penyebab perceraian sudah pasti adalah akibat dosa. Ada ketidak-setiaan, ada selfishness, ada jiwa mementingkan diri sendiri, itu semua faktor penyebab terjadinya perceraian. Tetapi perceraian itu sendiri belum tentu adalah dosa oleh karena hukum yang Tuhan beri itu menjadi hukum yang memberikan dasar mengapa terjadinya perceraian yang disahkan.

Yohanes 4 mencatat peristiwa dimana Yesus bercakap-cakap dengan seorang perempuan Samaria di tepi sumur. Perempuan itu sudah lima kali kawin cerai dan sekarang tinggal bersama pria yang bukan suaminya (Yohanes 4:18). Alasan perempuan itu ke sumur menimba air di siang hari, jelas karena malu dan tidak ingin berjumpa dengan orang-orang lain di desanya. Waktu murid-murid melihat hal itu, mereka kaget luar biasa melihat Yesus bercakap-cakap dengan dia. Tetapi peristiwa ini penting kita lihat dalam beberapa aspek karena di sini Yesus memberikan satu model bagaimana kita bersikap terhadap orang yang telah mengalami kegagalan dalam pernikahan. Sikap Yesus kepada perempuan Samaria ini menjadi contoh yang indah luar biasa. Yesus mau berbicara dengan perempuan itu. Yesus berkata kepada perempuan itu: Aku tahu persoalanmu, engkau sudah mengalami kawin cerai lima kali, itu sangat menyakitkan dan memalukanmu. Tetapi Aku datang kepadamu hari ini menawarkan air hidup yang tidak akan habis-habisnya kepadamu. Tuhan mengundang dia datang kepada-Nya. Yesus memberikan dia pengampunan dan restorasi bagi hidupnya yang sudah berantakan. Yesus mengajarkan kepada kita bagaimana sepatutnya sikap kita kepada mereka yang sudah mengalami kegagalan dalam pernikahan mereka. Itu bukan dosa yang tidak bisa diampuni. Ada grace and restoration di situ.

Ijinkan hari ini saya berkata, jika seseorang telah mengalami kesedihan perceraian dalam hidupnya, jangan lari dari komunitas gereja. Bisa jadi perceraian itu adalah perceraian yang keliru dan salah di waktu yang lalu, tetapi tidak berarti anugerah Allah tidak datang memberikan pertolongan kepadamu. Yang kedua, jangan lari dari Tuhan Yesus yang menawarkan air kehidupan yang menyembuhkanmu. Dengarkan suara penghiburan dan encouragement dari Tuhan di dalam hidupmu. Datang kepada Tuhan, akui kebenaran Tuhan yang memimpin dan merestorasi jiwamu. Yang ketiga, betapa indah kita melihat setelah peristiwa perjumpaannya dengan Yesus, perempuan itu pulang ke desanya dengan tidak malu bertemu dengan orang-orang di desanya menceritakan apa yang sudah Tuhan kerjakan dalam hidupnya (Yohanes 4:28-29). Kadang-kadang ada peristiwa yang pahit, sedih, menyakitkan, dan kegagalan dalam hidupmu, percayalah, kisahmu sanggup dan bisa dipakai oleh Tuhan untuk menolong orang lain yang mungkin sedang berjalan melewati hal yang sama.(kz)

Previous
Previous

Haus Berkuasa atau Rindu Melayani?

Next
Next

Jangan Memusuhi Kawan dan Jangan Berteman dengan Lawan