Penderitaan: Kemuliaan atau Hukuman?
Ringkasan Khotbah
Pengkhotbah: Pdt. Effendi Susanto STh
Nats: 1 Petrus 4:12-19
Ini adalah bagian terakhir dari 1 Petrus 4:12-19 yang saya beri judul “Penderitaan: Kemuliaan atau Hukuman?” Adakah kaitan yang kita bisa lihat antara penderitaan dengan kemuliaan? Bagi orang Yahudi hal itu adalah di luar daripada pemikiran mereka sebab di Perjanjian Lama dikatakan, “Terkutuklah orang yang digantung pada kayu salib” (Galatia 3:13, mengacu kepada Ulangan 21:23). Itu adalah tanda Allah memalingkan wajah-Nya kepada orang yang seperti demikian. Maka tidak heran rasul Paulus berkata salib itu menjadi sesuatu batu sandungan bagi orang Yahudi (1 Korintus 1:23), sehingga mereka sulit terima pada waktu kita mengatakan salib dan penderitaan Kristus adalah suatu kemuliaan.
Inilah konsep yang umum dari orang melihat penderitaan. Yang pertama, penderitaaan itu senantiasa berkaitan dengan hilangnya kemuliaan kita. Dalam Ratapan 3:18-19 dikatakan, “Pikirku: lenyaplah kemuliaanku dan harapanku kepada TUHAN. "Ingatlah akan sengsaraku dan pengembaraanku, akan racun pahit dan kepahitan itu.” Kitab Ratapan ditulis oleh nabi Yeremia di momen yang paling gelap di dalam hidupnya, tangisan air mata ketika segala sesuatu yang baik, yang megah dan indah itu hilang dan punah. Ayat ini menyatakan penderitaan dan kesusahan itu berkaitan dengan hilangnya kemuliaan dan kehormatan; yang tertinggal adalah akar yang pahit dan kepahitan di dalam kesengsaraannya.
Yang ke dua, penderitaan dan kesulitan itu kita katakan ini salahnya siapa? Dalam Yohanes 9:1-3 dicatat waktu Yesus sedang lewat, Ia melihat seorang yang buta sejak lahirnya. Murid-murid-Nya bertanya kepada-Nya: "Rabi, siapakah yang berbuat dosa, dia sendiri atau orang tuanya, sehingga ia dilahirkan buta?" Jawab Yesus: "Bukan dia dan bukan juga orang tuanya, tetapi supaya pekerjaan-pekerjaan Allah dinyatakan di dalam dia.” Inilah pertanyaan yang terlontar ketika penderitaan dan kesulitan terjadi dalam hidup seseorang ataupun mungkin terjadi dalam hidup kita. Salah siapa? Kenapa ini terjadi? Kita lalu saling menyalahkan satu sama lain. Tetapi Tuhan Yesus mengatakan penderitaan itu bukan salah siapa-siapa, tetapi supaya melalui itu Allah dimuliakan dalam hidup orang buta ini.
Di Alkitab kita melihat hidup dari orang-orang beriman di dalam Perjanjian Lama sampai kepada Perjanjian Baru, ada momen di dalam hidup mereka justru penderitaan dan kesusahan itu menjadi kesempatan mereka mengalami Tuhan dengan nyata dan Allah memuliakan mereka. Saat Abraham berjalan membawa Ishak anaknya ke puncak gunung Moria untuk dipersembahkan kepada Tuhan, itu adalah momen dimana ketaatannya kepada Tuhan harus dia bayar dengan harga yang mahal. Tetapi di situ Tuhan menguatkan dia dan menyediakan pengganti sebagai korban bagi Ishak (Kejadian 22). Kepada Yusuf, momen pada waktu dia dibuang dua belas tahun lamanya di dalam gua penjara yang terdalam untuk menanggung fitnah atas tuduhan yang tidak dia lakukan dan dia keluar dari penjara itu dengan hati yang tidak pahit. Kalau sdr bertanya kepada Daud, momen apa di dalam hidupnya itu dimana dia mengalami Tuhan yang begitu luar biasa, maka kita bisa melihat begitu banyak mazmur-mazmur yang indah lahir dan keluar dari tulisan raja Daud adalah pada waktu dia lari tersendiri dikejar oleh raja Saul bersembunyi dari satu gua ke gua yang lain, itu adalah momen dia mengalami Tuhan dan bergantung penuh kepada-Nya. Kalau sdr tanya kepada rasul Yohanes ketika di usia tua dibuang di pulau Patmos tersendiri di situ namun Tuhan menghibur dia dengan menyatakan kemuliaan-Nya. Kalau sdr tanya kepada rasul Paulus, Paulus akan berkata pada waktu cahaya kemuliaan Allah datang kepadanya di tengah amarah dan kebencian ingin memusnahkan dan menghancurkan orang percaya, matanya menjadi buta namun hidupnya diselamatkan oleh Tuhan. Itulah momen-momen kemuliaan yang terjadi bukan pada waktu mereka mendapatkan segala kebesaran dan kesuksesan tetapi pada waktu mereka berada di titik tergelap dalam penderitaan mereka, mereka berjumpa dengan Allah.
Maka melalui surat 1 Petrus 4 ini rasul Petrus mengajak kita melihat penderitaan dari perspektif yang berbeda dan mendorong kita sebagai anak-anak Tuhan memberikan respon dan sikap yang berbeda.
Di ayat 12-13 dia berkata, “Saudara-saudara yang terkasih, janganlah heran akan nyala api derita yang datang kepadamu sebagai ujian, seolah-olah ada sesuatu yang luar biasa terjadi atas kamu. Sebaliknya, bersukacitalah, sesuai dengan bagian yang kamu dapat dalam penderitaan Kristus, supaya kamu juga boleh bergembira dan bersukacita pada waktu Ia menyatakan kemuliaan-Nya.” Petrus katakan ketika penderitaan itu tiba kepadamu, jangan heran dan jangan terkejut ketika kesusahan itu terjadi kepadamu sebagai orang Kristen; jangan anggap itu sebagai sesuatu yang luar biasa terjadi dalam hidupmu. Kenapa kamu tidak perlu heran? Karena kamu sedang berjalan mengikuti Tuhan di jalan salib dan bagi Dia itu adalah sebuah kemuliaan. Tentu ketika engkau berkata seperti itu kepada orang-orang yang tidak percaya, mungkin ada di antara mereka yang berkata, kalau demikian apakah Kekristenan itu menyembah dan memuliakan penderitaan sebagai satu agama “masochism”? Kita berkata: tidak. Sebab Yesus menderita bukan karena menyiksa diri-Nya sendiri. Yesus naik ke atas kayu salib rela menerima penderitaan yang Ia terima dan tanggung atas hidup-Nya demi menebus engkau dan saya. Dan kita menerima penderitaan bukan untuk menyenangkan diri dan merasa nikmat di dalam penderitaan itu. Itu adalah hal yang berbeda.
Maka poin yang pertama rasul Petrus katakan mari kita melihat penderitaan, kesusahan dan kesulitan dalam hidup kita sebagai sebuah kemuliaan. Maka respon kita jangan heran, jangan terkejut saat engkau mengalami semua itu. Petrus mengungkapkan fakta realita yang dialami oleh jemaat yaitu mereka menghadapi momen dimana mereka tidak ada jaring pengaman yang bisa melindungi dan menghindarkan mereka dari hal-hal itu. Mereka tidak punya kedudukan di masyarakat; mereka adalah musafir yang tidak mempunyai tempat tinggal; mereka tidak mempunyai kewarga-negaraan [citizenship]; mereka menjadi minoritas yang tidak mendapatkan perlindungan hukum. Itulah keadaan dan kondisi yang mereka alami. Dan rasul Petrus hanya meminta kepada mereka jangan heran, jangan kaget dan terkejut ketika engkau mengalami hal-hal ini. Itu adalah respon yang harus kita berikan. Jangan berpikir bahwa hidup kita harus immune dari semua itu atau mempertanyakan kenapa kita mengalami semua ini. Jangan kita berespon dengan mempersalahkan diri atau situasi; dan jangan sampai kita putus harapan dan berkata “Aku telah kehilangan segala-galanya” karena justru itu adalah momen dimana kemuliaan itu berkaitan erat dengan kehidupan kita yang sedang berjalan di jalan salib itu.
Rev. George Whitefield pada waktu lulus sekolah teologi dan masuk ke ladang pelayanan sebagai seorang hamba Tuhan, dia berkata seperti ini: Apa yang akan terjadi kepadaku, saya tidak tahu. Tetapi ini yang dapat aku katakana, aku bersiap hati menghadapi konflik dan pergumulan yang terus menerus dalam hidup ini dan saya tidak mengharapkan adanya damai dalam hidupku. Yang ada ialah salib dan itulah artinya kita hidup di dalam dunia ini. Kenyamanan dan hidup dalam kedamaian dan sukacita bukan tidak ada dalam hidup sekarang tetapi itu adalah hal-hal yang akan kita dapat dan terima setelah kita melewati jalan salib itu.
Tuhan Yesus berkata, “Masuklah melalui pintu yang sesak itu karena lebarlah pintu dan luaslah jalan yang menuju kepada kebinasaan dan banyak orang yang masuk melaluinya; karena sesaklah pintu dan sempitlah jalan yang menuju kepada kehidupan dan sedikit orang yang mendapatinya” (Matius 7:13-14). Itu kalimat daripada Tuhan kita Yesus Kristus. Kita tidak membanding-bandingkan kesusahan, kesulitan dan penderitaan apa yang kita alami dalam hidup ini dengan kemujuran orang lain. Kita tidak mempersalahkan mengapa kita menikah dengan pasangan yang sakit-sakitan. Kita tidak mempersalahkan siapa yang menjadi ayah ibu dan keturunan kita. Kita tidak mempersalahkan kenapa kita tinggal di kota ini dalam kondisi apapun. Kita tidak mempersalahkan tempat dan pekerjaan dimana kita berada. Kita tidak gelisah dan takut bahwa hidup kita sama dengan orang yang lain yang tidak percaya Tuhan yang juga melewati kesusahan kesulitan, tetapi perbedaannya adalah kesusahan, kesulitan dan penderitaan yang dialami oleh anak-anak Tuhan adalah sebuah kemuliaan yang diberikan oleh Tuhan karena kita memandangnya melalui lensa salib Tuhan. Yang ke dua Petrus mengatakan, “Berbahagialah kamu, jika kamu dihina karena nama Kristus, sebab Roh kemuliaan, yaitu Roh Allah ada padamu” (ayat 14). Rasul Petrus memanggil kita untuk membalikkan respon terima penderitaan itu sebagai berkat bagimu. Tetapi dapatkah kita menerimanya sebagai sebuah berkat dari Tuhan? Kalau sdr datang kepada saya menceritakan segala kesusahan yang engkau alami, lalu saya bilang terima itu sebagai berkatmu, sdr akan marah. Koq pendeta ini kurang punya perasaan ya? Dalam pelayanan pastoral, kita dengar keluhan orang, kita dipanggil untuk diam, mendengar, simpati, tanpa perlu mengeluarkan kata-kata kita meletakkan diri ke posisi mereka. Kita menangis sama-sama dengan orang yang mengalami kesusahan kesulitan, kita berdoa bersama mereka. Mulut kita kita tahan untuk tidak berkata itu sebagai sesuatu berkat. Tetapi saya ajak sdr membaca firman Tuhan ini dan biarlah Tuhan yang berkata-kata kepada sdr. Terimalah sebagai berkat bagimu, penderitaan itu bukan sesuatu yang aneh, bukan sesuatu yang sdr harus tolak dari hidupmu. Yang ke tiga, jangan malu dan jangan minder, kata rasul Petrus di ayat 16 “Namun, jika ia menderita sebagai orang Kristen, janganlah ia malu, melainkan hendaklah ia memuliakan Allah dalam nama Kristus itu.” Saat-saat seperti ini mungkin kita tidak mengalami penderitaan secara fisik tetapi mungkin kita mengalami rasa takut untuk dikenal sebagai orang Kristen, kita malu kalau orang tahu kita adalah orang Kristen. Kita takut didiskriminasi, kita takut ditertawakan, kita takut dianggap judgmental, narrow-minded, bigotry, dsb. Ini yang rasul Petrus katakan kepada kita: jangan malu, jangan takut untuk bersedia jalan di jalan yang Yesus sendiri sudah jalani, yaitu jalan dimana engkau ditolak dan dihina orang.
Selanjutnya perspektif ke dua daripada rasul Petrus: Penderitaan kesusahan adalah disiplin dan penghakiman Allah. Ayat 17, “Sebab, telah tiba saatnya penghakiman dimulai dari rumah Allah sendiri. Jika penghakiman itu dimulai pada kita, bagaimana pula kesudahannya dengan mereka yang tidak percaya pada Injil Allah? Dan jika orang benar pun hampir-hampir tidak diselamatkan, apa yang akan terjadi dengan orang fasik dan orang berdosa?” Sedikit banyak kita harus menyadari dan mengakui kadang-kadang penderitaan terjadi itu kita bilang karena salah dan dosa kita. Agak susah kita katakan itu adalah kita sedang menanggung salib Kristus, kita menderita bagi Dia. Memang ada hal-hal yang terjadi dalam hidup kita itu karena kesalahan kita. Itu sebab Alkitab mengatakan, “Janganlah ada di antara kamu yang harus menderita sebagai pembunuh atau pencuri atau penjahat, atau pengacau.” Artinya bisa jadi kesusahan kesulitan yang engkau terima adalah akibat tindakanmu sendiri dan lihatlah itu sebagai disiplin Allah bagimu. “Sebab, telah tiba saatnya penghakiman dimulai dari rumah Allah sendiri. Jika penghakiman itu dimulai pada kita, bagaimana pula kesudahannya dengan mereka yang tidak percaya pada Injil Allah?” Ada dua metafora yang dipakai oleh Alkitab. Metafora pertama di ayat ini adalah metafora seorang tuan pemilik rumah sedang membersihkan rumahnya. Apa tujuan dari pembersihan itu? Jelas bukan untuk menghancurkan dan merusak rumahnya tetapi tujuannya adalah untuk merawat, membersihkan dan membuat rumahnya lebih indah. Yang ke dua adalah metafora mengenai pohon yang dipotong [pruning] seperti yang dikatakan oleh Yesus dalam Yohanes 15:2, “Setiap ranting pada-Ku yang tidak berbuah, dipotong-Nya dan setiap ranting yang berbuah, dibersihkan-Nya, supaya ia lebih banyak berbuah.” Pada waktu ranting itu rusak, ranting itu busuk, ranting itu jelek dan mungkin mempunyai hal-hal yang tidak baik, maka ranting itu akan dipangkas. Apakah tujuannya untuk mematikan pohon itu? Tidak. Tujuannya untuk membuat pohon itu tumbuh lebih subur dan berbuah lebih lebat. Tuhan memangkas dahan kita yang jelek, semata-mata untuk menyehatkan rohani kita.
Ada tiga respon yang kita berikan pada waktu disiplin dan pembersihan Allah terjadi dalam hidup kita. Pertama, peluklah [embraced] kesusahan dan penderitaan itu karena itu memang bertujuan menyehatkan kita. Mungkin kita adalah orang yang terlalu kuatir; mungkin kita orang yang terlalu egois dan hanya mementingkan diri sendiri; mungkin kita orang yang terlalu sombong; mungkin kita orang yang terlalu memaksakan kehendak kita; mungkin kita adalah orang yang selalu ingin dipuji; mungkin kita orang yang selalu mau menang sendiri; mungkin kita orang yang suka ambil kredit dari usaha orang lain; mungkin kita orang yang takut menderita; mungkin kita orang yang takut hidup kekurangan; kita semua adalah orang-orang yang seperti itu. Dan pada waktu pruning itu datang, pembersihan yang datang dari sang Pemilik rumah, taat dan terima itu. Kita tidak mempersalahkan orang lain, kita humble di hadapan Tuhan dan berubah dalam hidup kita, kita bertumbuh, kita mengalami Tuhan nyata dalam hidup ini. Kita mungkin orang yang takut menderita namun adakalanya Tuhan mengijinkan penderitaan itu tiba dalam hidup engkau dan saya bukan untuk membuat hidup kita menderita tetapi untuk menyehatkan engkau dan saya; demi untuk kebaikan kita. Yang ke dua, sekaligus kita diingatkan dari ayat ini untuk menjadi gentar karena jikalau kita saja yang sudah terima Tuhan dan menjadi milik Tuhan hampir-hampir saja tidak bisa lewat, bagaimana dengan mereka yang terus-menerus hidup dalam dosa? Maka respon kita yang ke dua, di ayat 19, “Karena itu baiklah juga mereka yang menderita karena kehendak Allah, menyerahkan dirinya kepada Pencipta yang setia sambil terus berbuat baik.” Lempar dirimu sandar kepada Tuhan seperti anak yang menangis sedang didisiplin oleh ayahnya atau ibunya, dia menangis karena sakit didisiplin itu tetapi saat yang sama lari ke dalam pelukan ayahnya. jikalau engkau mengalami penderitaan karena kehendak Allah, larilah kepada-Nya dan bersandar kepada Dia, Pencipta yang setia itu.
Tanyakanlah kepada Yakub, momen apa di dalam hidupnya dimana dia sungguh-sungguh mengalami kebaikan Tuhan dan pemeliharaan Tuhan? Dia akan mengatakan momen dimana dia mengalami disiplin dibuang oleh Tuhan di tengah-tengah padang belantara. Kalau itu adalah Esau yang dibuang di padang belantara, dengan batu menjadi bantal untuk kepalanya, buat Esau mudah karena hidupnya memang suka di luar berburu di padang belantara. Tetapi tidak demikian dengan Yakub. Dengan kasih yang keliru dan salah dari mamanya Ribka yang over-protective, dia tidak pernah keluar dari rumah, dia anak rumahan, dikasih makan, dijaga, dan mamanya ingin dia mendapatkan berkat yang terbaik dari papanya bahkan dengan cara menipu papanya sendiri, bukan? Itulah Yakub. Dia selalu mendapatkan apa yang dia mau dengan cara apapun dan dia mendapatkan dukungan dan lindungan mamanya. Tidak ada sedikitpun dalam hidupnya dia mengenal apa yang namanya hidup tersendiri, di luar tenda, tidak dapat makan, dan tidak ada orang yang menjaga dan melindunginya. Dan Tuhan memberikan kesempatan untuk dia tidur seorang diri tidak ada yang menjaga, itu adalah malam yang paling menakutkan tetapi itu juga adalah malam dimana dia bertemu dengan Tuhan dan menerima janji-janji Abraham turun kepadanya (Kejadian 28). Episode selanjutnya adalah episode yang penuh dengan air mata, dia ditipu oleh Laban, dia ditipu oleh anak-anaknya, dia mengalami hidup yang seperti itu dan dia mengerti apa artinya semua itu adalah hal yang menyehatkan dan mendewasakan dia.
Percayalah kepada Tuhan, taruhlah hidupmu kepada-Nya, sebab pada waktu Ia mendisiplin kita, itu disiplin untuk kebaikan kita. Yang ke dua, mari kita tetap tinggal dan serahkan hidup kita kepada-Nya sebab Ia akan menjaga dan memelihara engkau kepada hal yang benar. Tujuannya adalah bukan supaya kita lari daripada-Nya, bukan untuk kita memberontak dan menjadi pahit tetapi tinggal di dalam Dia dan percaya jalan Tuhan adalah yang terbaik, sekalipun kita tidak tahu hari ini tetapi biar Tuhan pimpin dan tuntun hidup kita di dalam kebenaran-Nya.
George Matheson lahir dengan mata yang cacat dan rusak. Sampai umur 17 tahun dia mengalami kebutaan total tetapi dia menyerahkan hidupnya menjadi seorang hamba Tuhan. Dialah yang menulis lagu “O, Love that will not let me go.” George Matheson mengalami penderitaan mental dan depresi; kita tidak bisa sepenuhnya memahami ketika seseorang lahir dengan kondisi sakit dan penderitaan yang panjang, sakit itu tidak akan hilang dalam hidupnya. Kita mungkin melihat dia jalani dengan kuat, tetapi ada hal-hal yang kita tidak bisa lihat, jiwanya gelap dan gelisah dan berat luar biasa. Lagu ini mengungkapkan kesaksiannya sebagai seorang hamba Tuhan yang baik waktu dia berumur 40 tahun di titik tergelap itu menulis syair yang menjadi berkat bagi kita. Ayat 4 dari lagu ini berkata: “Oh salib yang tegakkan kepalaku/Aku tidak berani lari daripada-Mu/Aku terbaring di atas debu kematian adalah kemuliaan hidup ini/Tetapi dari tanah itu akan tumbuh mekar bunga yang merah/Sebuah hidup yang tidak akan ada akhirnya.”
Respon terakhir, ayat 19, “Karena itu baiklah juga mereka yang menderita karena kehendak Allah, menyerahkan dirinya kepada Pencipta yang setia sambil terus berbuat baik.” Respon ke tiga, kita dipanggil untuk selalu terus berbuat baik. Kita tidak tenggelam di dalam kesulitan dan tidak menjadi orang yang hanya memikirkan diri sendiri tetapi kita dipanggil di tengah kesulitan itu boleh bersinar menjadi berkat. Hidup kita penuh dengan perbuatan baik, kita menjadi orang yang lebih peka dengan kesusahan dan kesulitan orang lain. Kita tidak lalai di dalam melayani dan mengasihi pekerjaan Tuhan. Kita memakai waktu yang ada juga mendoakan orang-orang lain, terutama saudara-saudara kita seiman di dalam penderitaan dan penganiayaan yang mereka alami karena nama Tuhan. Kiranya Tuhan berkati kita dengan firman-Nya pada hari ini.(kz)