Pilgrim's Mentality
Ringkasan Khotbah
Pengkhotbah: Pdt. Effendi Susanto STh.
Nats: 1 Korintus 7:29-32, 15:50-58
Gerakan Reformasi [yang dimulai sejak tahun 1517 menghasilkan kegerakan daripada gereja Protestan. Mari kita melihat kegerakan itu bukanlah sebuah pemberontakan terhadap gereja Roma Katolik sebagai mother church tetapi Reformasi adalah sebuah keinginan dan kerinduan bagaimana mengerti dengan benar ajaran yang kita pahami di dalam hidup kita sungguh-sungguh menjadi sesuatu yang kita hidupi dalam hidup ini yang diekspresikan di dalam semangat dan jiwa mentalitas dan lifestyle apa artinya hidup sebagai orang yang telah diperbaharui direformasi oleh Tuhan. Di Inggris kelompok orang-orang itu disebut sebagai kaum Puritan. Mereka tidak mau hidup beragama sebagai formalitas belaka dimana gereja hanyalah dilihat daripada jubahnya, tata gerejanya, dan kehidupan burjois mereka tanpa peduli terhadap keadaan daripada masyarakat di dalam kesenjangan ekonomi yang ada. Teolog J.I. Packer mengatakan kaum Puritan itu memiliki tiga mentalitas yang menjadi inti dan ciri hidup mereka. Yang pertama, mentalitas hidup sebagai seorang musafir [a pilgrim's mentality]. Yang ke dua, a warrior mentality, anak Tuhan yang menyadari bahwa hidup Kekristenan mereka adalah sebuah peperangan bukan untuk memerangi orang lain tetapi menyadari ada tiga musuh yang selalu harus kita waspadai yaitu hawa nafsu kedagingan, godaan dunia dan Iblis yang berusaha menjatuhkan anak-anak Tuhan. Yang ke tiga, a servanthood mentality, mentalitas seorang hamba yang memegang prinsip Kolose 3:23: apapun yang engkau kerjakan, apapun yang engkau lakukan, lakukanlah itu bagi kemuliaan Allah
Hari ini saya ingin mengajak sdr melihat lebih dalam panggilan hidup dengan mentalitas seorang musafir kita menjadi orang Kristen yang memiliki mentalitas itu. Ada dua ayat yang signifikan dan penting untuk memahami hidup seorang pengembara di dalam dunia ini. Paulus berkata dalam 1 Korintus 7:29-32 "Saudara-saudara, inilah yang kumaksudkan, yaitu: waktu telah singkat! Karena itu dalam waktu yang masih sisa ini orang-orang yang beristeri harus berlaku seolah-olah mereka tidak beristeri; dan orang-orang yang menangis seolah-olah tidak menangis; dan orang-orang yang bergembira seolah-olah tidak bergembira; dan orang-orang yang membeli seolah-olah tidak memiliki apa yang mereka beli; pendeknya orang-orang yang mempergunakan barang-barang duniawi seolah-olah sama sekali tidak mempergunakannya. Sebab dunia seperti yang kita kenal sekarang akan berlalu." Ayat firman Tuhan ini muncul di dalam konteks yang besar Paulus memberi jawaban kepada satu pertanyaan yang berkaitan dengan persoalan pernikahan apakah menikah itu lebih baik daripada tidak menikah? Itu adalah pertanyaan dari jemaat di Korintus kepada Paulus. Dan di sini kemudian Paulus menjelaskan bicara mengenai status kita dan dia memperlebar mengenai ketika kita dipanggil menjadi seorang budak ataukah orang merdeka; apapun panggilan kita, apapun situasi kita, kita tahu itu adalah soal bagaimana di dalam keadaan kita seperti itu kita tahu hidup kita itu bagi Tuhan. Maksud dari Paulus di sini adalah semua relasi yang kita miliki di dunia ini akan berhenti hanya sampai di sini dan relasi-relasi itu tidak menjadi relasi yang berkelanjutan di dalam kekekalan. Sehingga menyadari itu membuat kita tidak menjadikan relasi-relasi yang sementara itu menjadi yang lebih penting dan hidup kita tidak boleh didefinisikan oleh semua relasi itu. Sehingga dalam relasi suami isteri, pada waktu kita menikah ada kalimat janji nikah "sampai maut memisahkan kita" di situ berarti relasi suami isteri selesai ketika kematian datang. Dalam relasi dengan benda dan barang, Paulus ingin kita mempergunakan, menikmati, dan memakai apa saja yang kita miliki saat ini namun semua itu tidak boleh mengikat dan mempertuan hidupmu. Kenapa? Sebab jikalau semua itu mengikat dan mempertuan hidup kita, ayat yang ke 32 itu yang senantiasa akan menjadi persoalan dalam hidup kita. Paulus bilang, "Aku ingin, supaya kamu hidup tanpa kekuatiran dan memusatkan perhatiannya pada perkara Tuhan, bagaimana Tuhan berkenan kepadanya." Ketika hati kita diikat dan dipertuan oleh semua itu, hidup kita akan menjadi hidup yang selalu penuh dengan kekuatiran; selalu merasa tidak puas; selalu merasa tidak cukup; kita kehilangan hati yang mengucap syukur. Dan untuk tidak hidup seperti itu hanya bisa disembuhkan oleh sebuah kesehatan mentalitas dalam hidup kita yaitu dan itu adalah a pilgrim mentality.
Ayat yang ke dua dari 1 Korintus 15:50-58, "Saudara-saudara, inilah yang hendak kukatakan kepadamu, yaitu bahwa daging dan darah tidak mendapat bagian dalam Kerajaan Allah dan bahwa yang binasa tidak mendapat bagian dalam apa yang tidak binasa. Sesungguhnya aku menyatakan kepadamu suatu rahasia: kita tidak akan mati semuanya, tetapi kita semuanya akan diubah, dalam sekejap mata, pada waktu bunyi nafiri yang terakhir. Sebab nafiri akan berbunyi dan orang-orang mati akan dibangkitkan dalam keadaan yang tidak dapat binasa dan kita semua akan diubah. Karena yang dapat binasa ini harus mengenakan yang tidak dapat binasa, dan yang dapat mati ini harus mengenakan yang tidak dapat mati. Dan sesudah yang dapat binasa ini mengenakan yang tidak dapat binasa dan yang dapat mati ini mengenakan yang tidak dapat mati, maka akan genaplah firman Tuhan yang tertulis: "Maut telah ditelan dalam kemenangan. Hai maut di manakah kemenanganmu? Hai maut, di manakah sengatmu?" Sengat maut ialah dosa dan kuasa dosa ialah hukum Taurat. Tetapi syukur kepada Allah, yang telah memberikan kepada kita kemenangan oleh Yesus Kristus, Tuhan kita. Karena itu, saudara-saudaraku yang kekasih, berdirilah teguh, jangan goyah, dan giatlah selalu dalam pekerjaan Tuhan! Sebab kamu tahu, bahwa dalam persekutuan dengan Tuhan jerih payahmu tidak sia-sia."
Paulus mengingatkan apa yang ada dalam hidup kita saat ini menjadi sesuatu yang tidak akan berkesinambungan sampai kepada kekekalan. Keadaan dan kondisi di surga yang berbeda total dengan hidup kita sekarang ini sehingga apa yang kita rasa penting dalam dunia ini tidak lagi menjadi sesuatu yang berkesinambungan di sana. Mentalitas itu harus menjadi mentalitas yang memimpin hidup kita di dalam dunia sekarang ini. Kalau begitu apakah semua itu menjadi tidak penting dan tidak perlu? Tidak; tetapi bagaimana yang sementara itu bisa menjadi sesuatu yang bernilai kekal di hadapan Tuhan, ayat ini menjadi kuncinya: "Karena itu, saudara-saudaraku yang kekasih, berdirilah teguh, jangan goyah, dan giatlah selalu dalam pekerjaan Tuhan! Sebab kamu tahu, bahwa dalam persekutuan dengan Tuhan jerih payahmu tidak sia-sia" (1 Korintus 15:58).
Sebenarnya mentalitas pilgrim ini yang ada dalam pikiran dari anak-anak Tuhan khususnya di abad 17-18 adalah bagaimana menghadapi dan menjalani kesusahan dan penderitaan secara Kristiani yang sudah kita bahas minggu lalu. Yang ke dua, mentalitas pilgrim ini memimpin hati kita pada saat kita mengalami hidup yang lancar dan mendapat berkat yang berlimpah, bagaimana kita memperlakukannya dengan perspektif hidup Kristen yang benar juga.
Buku "Pilgrim's Progress" yang ditulis oleh John Bunyan tahun 1668 menjadi buku klasik yang dibaca oleh orang Kristen sepanjang masa selain Alkitab. John Bunyan yang lahir dari keluarga miskin dan tidak berpendidikan. Dia hanya mendapatkan pendidikan di dalam keluarga, tidak mengenyam pendidikan formal sampai universitas. Tetapi Tuhan memakai dia yang punya daya imajinasi tulisan yang begitu simple dan kreatif untuk memberikan kedalaman daripada pengertian teologis dari apa artinya kita menjadi seorang musafir di dalam sebuah cerita fiksi yang begitu sederhana tetapi akan terus menerus membangkitkan satu imajinasi dan dorongan bagi anak-anak Tuhan di segala jaman secara luar biasa.
Penggunaan kata "pilgrim" yang diterjemahkan dalam bahasa Indonesia "musafir" atau "pengembara" yang melakukan perjalanan. Kata "pilgrim" itu menjadi kata yang penting untuk membedakan dua kata yang lain. Yang pertama, menjadi anak Tuhan sebagai pilgrim itu berarti kita hidup dalam dunia ini bukan sebagai pengelana [wanderers]. Memang kelihatan aktifitasnya sama-sama berjalan, sama-sama pergi ke satu tempat tetapi pada waktu kita pergi liburan, kita bertamasya, atau keliling dunia, itu adalah "wanderer." Wanderer pergi berkelana ingin melihat hal-hal yang baru, pergi ke tempat yang berbeda, menikmati pengalaman yang berbeda tanpa punya tujuan, arah dan fokus daripada perjalanan itu. Tuhan panggil kita untuk mengikut Dia bukan menjadi wanderer ikut Tuhan hanya keliling tanpa mengerti apa yang menjadi direksi dari perjalanan hidup kita. Yang ke dua, kata "pilgrim" itu kontras dengan konsep "escapist." Escapist yaitu orang Kristen yang meninggalkan dunia, hidup menyendiri dan tidak bersentuhan dengan apa yang ada dalam dunia, hidup bertapa meninggalkan segala sesuatu dalam dunia ini dan masuk ke dalam biara. Mentalitas escapist menganggap hidup seperti itu spiritualnya lebih tinggi dan lebih suci daripada orang yang lain. Berbeda dengan konsep kaum Puritan memahami hidup Kristen sebagai pilgrim bukan melarikan diri dari dunia ini, bukan merasa takut dicemari oleh dunia ini, bukan tidak ingin bersentuhan dengan apa yang ada di dalam dunia ini. Kita bukan menjadi orang yang panik dan takut untuk menjadi kaya, takut untuk menjadi sukses, takut untuk memiliki barang yang lebih banyak, atau memiliki harta yang lebih banyak. Pilgrim mempunyai pengertian mereka hidup tinggal di dalam dunia ini tetapi mereka bukan dari dunia ini. Kita tahu mata kita harus fokus mengerjakan dengan teliti apa yang ada di dalam dunia ini dengan sungguh, dengan baik dan dengan jujur, tetapi juga sembari mata kita selalu tertuju kepada panggilan surgawi.
Saya sangat menganjurkan sdr untuk membaca buku Pilgrim's Progress dengan teliti dan sungguh merenungkan dengan baik. Buku ini bicara mengenai seorang yang bernama Christian yang keluar dari kota yang namanya the city of Destruction, kota dimana dia tinggal bersama isteri dan anak-anaknya untuk pergi menuju Celestial city, bicara mengenai panggilan surgawi. Seperti itulah perjalanan hidup Kristen kita. Dia memutuskan untuk meninggalkan the city of Destruction sebagai perlambangan kehidupan dunia yang berdosa. Buku ini menarik sebab ada ketegangan di awal karena anak dan istrinya menertawakan dia, akhirnya dia keluar dari kota itu seorang diri. Itu bukan berarti menjadi orang Kristen berarti engkau mengabaikan keluargamu, tetapi berarti keselamatan itu adalah hal yang personal; your salvation is a personal matter. Isteri percaya Tuhan tidak berarti otomatis suami juga percaya Tuhan; engkau terima dan percaya Tuhan tidak berkaitan dengan orang lain. Semua kita masing-masing memiliki relasi yang personal dengan Tuhan. Isteri rajin berdoa, how about you? Suami giat melayani, how about you?
Poin yang ke dua bagaimana memiliki mentalitas seperti yang dikatakan oleh Paulus, pergunakanlah, belilah, milikilah segala sesuatu tetapi seolah-olah tidak memilikinya karena darah dan daging tidak berbagian dalam kerajaan Allah. Tetapi apa yang engkau miliki di dalam kesementaraan ini ketika engkau pakai dengan baik bagi kemuliaan Tuhan, semua ini tidak akan hilang dengan sia-sia. Sdr lihat paradoksnya? Yang engkau miliki sekarang pasti akan hilang, tidak akan bisa engkau bawa sampai ke lubang kubur, tetapi apa yang engkau miliki sekarang tidak bisa hilang begitu saja tetapi akan menjadi sesuatu yang tidak akan pernah sia-sia di mata Tuhan. Itu tergantung bagaimana engkau menggunakan semua itu dengan konsep Kristen yang benar. Dalam Lukas 12:15 Tuhan Yesus berkata, "Berjaga-jagalah dan waspadalah terhadap segala ketamakan, sebab walaupun seorang berlimpah-limpah hartanya, hidupnya tidaklah tergantung dari pada kekayaannya itu." Apa yang Alkitab katakan dengan benar secara biblikal terhadap material possessions? Di sini Tuhan Yesus jelas berkata hidup ini tidak tergantung kepada harta; punya banyak atau punya sedikit itu tidak relevan dengan hidup sdr. Have more or have less is irrelevant to life. Kita pikir secara kasat mata memiliki banyak harta akan membuat hidup kita lebih mudah, engkau bisa mendapatkan pelayanan yang lebih baik, pengobatan yang lebih baik, karena kita mempunyai kelebihan dibanding dengan orang lain yang miskin dan tidak berpunya. Tetapi ayat ini berkata dengan jelas: hidupmu tidak tergantung dari pada kekayaan; your life is not depend on money, either you have more or you have less. Poinnya bukan kepada more or less-nya, poinnya adalah hidup itu sendiri hidup yang bagaimana? Maka Yesus mengatakan betapa kasihan sebenarnya orang yang mengumpulkan harta bagi dirinya sendiri jikalau dia tidak kaya di hadapan Allah. Yang ke dua, dari Lukas 12 ini kita juga tahu harta dan kekayaan itu tidak bisa kita sandari sebagai pegangan. Yesus menceritakan sebuah perumpamaan di bagian ini dengan kisah seorang kaya yang bodoh berkata kepada jiwanya: Jiwaku, ada padamu banyak barang, tertimbun untuk bertahun-tahun lamanya; beristirahatlah, makanlah, minumlah dan bersenang-senanglah! Tetapi firman Allah kepadanya: Hai engkau orang bodoh, pada malam ini juga jiwamu akan diambil dari padamu, dan apa yang telah kausediakan, untuk siapakah itu nanti? Demikianlah jadinya dengan orang yang mengumpulkan harta bagi dirinya sendiri, jikalau ia tidak kaya di hadapan Allah" (Lukas 12:16-21). Kematian mengingatkan kepada kita cepat atau lambat ada satu titik dimana harta dan uang itu tidak bisa kita bawa, itulah kematian. Artinya selama hidup di dunia kita menyadari rumah yang kita miliki, barang yang kita miliki itu adalah pemberian Tuhan; itu adalah milik Tuhan yang Dia beri menjadi tanggung jawab kita untuk bisa kita pakai dan kelola. Mentalitas kita hidup sebagai pilgrim adalah sebuah mentalitas yang mengingatkan kepada kita bagaimana possessions yang tidak bisa kita sandari; hidup kita yang sebenarnya tidak ada kaitannya dengan banyak atau sedikit uang kita, artinya orang yang punya sedikit bisa melakukan sesuatu yang kekal dan membuat dia menjadi kaya di hadapan Allah.
Sekali lagi bicara mengenai relasi kita dengan Tuhan itu adalah hal yang personal. Masing-masing kita memiliki relasi dengan Tuhan bicara bagaimana hidup yang sementara ini menjadi satu hidup yang bisa kita ubah dan converted menjadi hal-hal yang bernilai dan investasi dalam kekekalan. Satu kali kelak kita rindu Tuhan katakan engkau adalah hamba Tuhan yang setia dan apa yang engkau lakukan selama di dunia bagi Tuhan tidak akan pernah pulang dengan sia-sia. Itulah sebabnya seperti yang Paulus katakan giatlah selalu di dalam pekerjaan Tuhan sebab semua jerih payahmu tidak akan pernah menjadi sia-sia adanya. Pada waktu kita berbicara mengenai tanggung jawab dan responsibility kita kepada apa yang Tuhan beri kepada kita itu boleh kita pakai, pergunakan, dan miliki dan explore semua itu. Kita bukan escapist tetapi sekali lagi itu semua bukan milik kita. Kita dipercayakan Tuhan menggunakan dan mengelola semua itu dan waktu semua itu tidak ada dan hilang dari hidup kita, kita tidak menjadi orang yang marah, galau dan kecewa adanya. Ketika melihat orang lain mempunyai kelebihan, kita tidak akan pernah menjadi iri dan merasa kenapa mereka lebih diberkati dan hidupnya lebih sukses, dsb. Have more or have less is irrelevant to life. Masing-masing kita ada waktu, ada bakat, ada talenta, ada possessions, be generous atas semua itu. Alkitab mengajarkan kepada kita ada prinsip-prinsip bagaimana kita melakukan pemberian-pemberian dan persembahan yang bersifat proporsional. Yang diberi banyak dituntut banyak; yang diberi sedikit dituntut sedikit oleh Tuhan. Kita harus selalu berangkat dengan satu sikap bahwa apa yang Tuhan sudah beri kita kelola dengan tanggung jawab, kita pikirkan baik-baik bagaimana kita mengatur itu dengan baik adanya, apa yang kita bisa pilah dan bedakan mana yang menjadi keinginan, mana yang menjadi kebutuhan, mana yang sekedar menghambur-hamburkan uang, mana yang kita pakai untuk hal yang berguna. Ketika kita yakin itu adalah kebutuhan kita dan kita pakai dengan tanggung jawab [bagaimana uang itu dipakai untuk membesarkan anak, memikirkan kesejahteraan karyawan, itu tanggung jawab yang Tuhan kasih; kerjakan dan lakukan dengan baik. Ketika engkau melihat kebutuhan orang lain, ada pelayanan yang masih membutuhkan, dsb itu menjadi tanggung jawab sdr dan saya mengerjakan itu.
Contoh hidup hamba Tuhan seperti John Wesley yang memberi bagi pelayanan dengan proporsi uang begitu besar dan bagaimana dia hidup secara sederhana dimana pemasukannya yang banyak dia bisa mengatur hidupnya sesuai dengan apa yang perlu dan cukup baginya lalu dia memberikan lebih daripada apa yang dia dapat per tahun secara proporsional lebih daripada itu. Tetapi kita juga tidak boleh melupakan ada begitu banyak anak-anak Tuhan lain yang melakukan persembahan dan pemberian yang bersifat proporsional. Saya ingin mengutip ucapan dari seorang bisnisman bernama Sir William Hartley (1846-1922) pemilik perusahan selai Hartley mengatakan, "membagikan uang itu lebih berat daripada menghasilkan uang, faithful to distribute possessions is harder and more anxious; kalau saya kasih, apakah nanti saya akan cukup. Namun saya berprinsip duduk di atas uang saya, bukan uang yang duduk di atas kepala saya. Saya mengambil sikap dengan menanamkan semangat hidup Yesus Kristus dalam hidup saya sehingga apa yang tadinya sesuatu yang mustahil di awal proses bukan saja menjadi bisa tetapi sungguh membawa sukacita yang besar. What appear to us quite impossible at the beginning not only become possible but absolutly a joy in giving."
Bersyukur kepada Tuhan jikalau kita menyadari bahwa kita adalah orang-orang yang telah mendapatkan segala kebaikan, kehormatan, kemuliaan lebih daripada apa yang kita perlukan. Dan pada waktu kita hidup di dalam segala tantangan, kesusahan, kesulitan dan penderitaan, kiranya kita tetap melihat bahwa keindahan kasih Kristus itu lebih daripada kesusahan dan penderitaan yang kita alami hari ini. Demikian juga pada waktu kita mendapatkan beragam hal yang baik, kekayaan, ketenaran dan kesuksesan, kiranya kita senantiasa ingat bahwa semua itu tidak bisa dibandingkan dengan keindahan kekayaan yang akan kita miliki di dalam surga sehingga hari ini kiranya kita boleh hidup di atas muka bumi ini berjalan dengan segala tanggung jawab di dalam perjalanan hidup ini dengan tahu kita tidak akan tinggal selama-lamanya dan kita tidak akan pegang dan genggam semua itu erat-erat, tetapi kita sedang berjalan menuju kepada kota kemuliaan dan sukacita dimana segala sesuatu indah adanya. Kiranya firman Tuhan hari ini menjadi firman yang membentuk mentalitas kita sebagai anak Tuhan dan di situ orang tahu kita adalah anak Tuhan dan hidup yang sementara ini memuliakan Tuhan sampai akhirnya. Kiranya kita boleh terus menjadi terang yang bercahaya dengan indah di dalam hidup sebagai anak-anak Tuhan yang setia sampai pada akhirnya.(kz)