The Richness of Reformed Spirituality

Ringkasan Khotbah

Pengkhotbah: Pdt. Effendi Susanto STh.

Nats: 2 Korintus 1:3-11

Pernahkah sdr berpikir apa kira-kira kesan orang ketika melihat kita untuk pertama kali? Banyak kali kita mungkin tidak menyadari bahwa orang bisa melihat dan mendapat kesan tertentu sekalipun kita tidak memberitahukan identitas kita. Dan aspek yang lebih dalam lagi, apa kira-kira kesan orang melihat cara hidup kita sehari-hari; apakah mereka bisa melihat kita adalah orang percaya tanpa kita perlu memberitahukan, memperkenalkan siapa kita, pengenalan kita, relasi kita dengan Yesus Kristus? Banyak orang mengaku sebagai orang Kristen tetapi kenyataannya orang tidak melihat dan mendapat kesan itu ketika melihat cara hidup mereka tetaplah menjadi orang Kristen tradisi belaka. Apa yang saya maksudkan dengan orang Kristen tradisi adalah identitas di KTP-nya beragama Kristen, pengakuannya adalah sebagai orang Kristen namun nilai hidup dan cara pandangnya adalah hal yang bersifat tradisi belaka, dan tidak berdasarkan nilai-nilai Kristiani terlihat pada waktu orang ini menghadapi suatu persoalan, atau pada waktu dia membicarakan sesuatu hal. Sehingga, contoh sederhana saja, pada waktu mungkin seseorang tiba-tiba menghadapi penderitaan dan penyakit yang tidak terduga dan di situ kita menemukan orang ini mengambil segala cara mistik dan tahayul atau mencari bantuan-bantuan dari dukun atau siapa saja "tuhan" yang bisa menolong dia ketimbang datang mendekat kepada Tuhan yang sejati.

Di situ kita bisa melihat bagaimana pemahaman dasar fondasi teologi seseorang itu seharusnya tercermin di dalam lifestyle kehidupan mereka. Saya rindu mari kita mengintrospeksi diri kita masing-masing saat kita menyadari bahwa orang melihat dan mengamati hidup kita, apakah mereka melihat bahwa hidup kita selaras dengan pengakuan kita sebagai orang Kristen ataukah orang melihat bahwa lifestyle hidup kita adalah sebuah lifestyle yang bertolak-belakang dengan identitas itu? Dan pada saat yang sama kita mungkin juga perlu mengintrospeksi diri pada waktu orang melihat kita pergi ke sebuah gereja denominasi tertentu, atau kita menyebut diri sebagai orang Kristen Reformed, bagaimana orang mengenal lifestyle kita sebagai orang Reformed? Maksudnya bukan dengan satu tujuan saya mengatakan diri orang Reformed untuk membedakan saya dengan orang Pantekosta, orang Karismatik atau orang Katolik, dsb. Saya percaya kita tidak boleh memandang denominasi bersifat seperti itu adanya. Tetapi sedih kalau akhirnya orang mempunyai kesan kita sebagai orang Reformed adalah orang Kristen yang kaku, orang Kristen yang picik dan naif, orang Kristen yang sempit pemikirannya, atau orang yang judgmental menganggap diri paling benar, sombong dan angkuh melihat hidup kita.

Tanggal 31 Oktober menjadi catatan perjalanan sejarah daripada gerakan Reformasi yang dimulai pada waktu Martin Luther menempelkan 95 tesisnya di pintu gereja Wittenberg di Jerman. Luther tidak mempunyai tujuan untuk menganggap diri benar, tidak mempunyai tujuan ingin mengacaukan dan mendatangkan pemberontakan kepada Paus dan gereja Roma Katolik. Ingatkan pada waktu itu Luther sendiri adalah seorang imam Katolik. Tetapi apa yang dia ingin nyatakan adalah bagaimana identitas sebagai seorang Kristen itu tercermin daru kehidupan sebagai seorang yang sungguh-sungguh menjadi pengikut Yesus Kristus. Gerakan Reformasi membawa gereja kembali kepada inti daripada iman: Sola gratia, Sola fide, Sola Scriptura, Solus Christus dan Soli Deo Gloria. Inilah kekayaan spiritual dari satu fondasi teologis: because of grace alone, saya hidup berdasarkan firman Tuhan dan itu terekspresi dalam lifestyle hidup kita.

J.I. Packer seorang hamba Tuhan Reformed dari gereja Anglican, penulis buku klasik "Knowing God" mengatakan seorang Kristen Reformed sejati itu akan tercermin di dalam cara hidupnya. Beliau mengatakan ada tiga kekayaan identitas teologi Reformed yang menciptakan tiga macam lifestyle ini. Yang pertama, sebuah mentalitas musafir [pilgrim's mentality] yang nampak dalam sikap dan cara hidup yang sederhana yang justru menjadi kekayaan spiritualitas seorang Reformed. Yang ke dua, adanya mentalitas [warrior of God] senantiasa menyadari di dalam sepanjang hidup kita senantiasa ada peperangan menghadapi godaan daripada Setan, kelemahan daripada kedagingan dan juga godaan nafsu duniawi yang selalu berusaha menarik kita menjauh dari Tuhan. Hari ini saya tidak angkat mengenai warrior mentality karena itu sudah saya bahas beberapa minggu yang lalu dan saya harap itu tidak boleh menjadi khotbah yang lewat begitu saja dari hidup kita tetapi biar itu menjadi lifestyle hidup kita. Yang ke tiga, lifestyle of servanthood, satu mentalitas yang ditandai dengan apapun yang mereka kerjakan, apapun yang mereka lakukan dan kemana saja mereka pergi, mereka membawa sebuah cara hidup sebagai hamba-hamba Allah yang Allah panggil untuk menjadi penatalayan yang setia di dalam mengerjakan apa saja di dalam hidup mereka. Sehingga industri-industri yang muncul di negara-negara yang berlatar-belakang Kristen Protestan di Swiss, di Jerman dan negara-negara Eropa sdr bisa melihat sikap dan etos kerja seperti itu. Demikian juga melalui universitas-universitas yang didirikan dan dibangun pada era tsb baik di Amerika, baik di Eropa, dilandaskan dari satu semangat dari hidup orang Kristen yang ingin menjadikan kemuliaan Allah itu nyata dan hadir dan memberikan pengaruh serta sumbangsih yang sangat besar di dalam masyarakat. Begitu banyak scientist yang muncul pada era tsb adalah orang-orang yang digerakkan oleh satu kesadaran mandat budaya yang berjuang bagaimana memajukan pengobatan, operasi dan menghasilkan berbagai penemuan ilmiah dengan melihat ciptaan Allah yang begitu luar biasa, yang begitu indah, begitu teratur adanya.

Hari ini kita akan fokus melihat bagaimana fondasi teologi dalam pemahaman daripada gerakan Reformasi itu memberikan semacam lifestyle yang seperti apa di dalam hidup kita terutama saat kita menghadapi kesulitan dan penderitaan. Lifestyle seperti apa yang dihasilkan dari sebuah fondasi teologi yang kita miliki sebagai orang Reformed Protestan, sebagai orang yang percaya Yesus Kristus? Bagaimana pengenalan teologi yang solid itu memimpin hidup saya terutama saat menghadapi kesulitan dan penderitaan secara Kristiani?

Buku Katekisasi Heidelberg adalah salah satu katekismus yang paling awal dibuat di dalam gereja Protestan ketika pangeran-pangeran di Jerman mengambil keputusan untuk melepaskan diri daripada kekuasaan gereja Roma Katolik dan Spanyol yang notabene dipengaruhi oleh Paus dan mereka ingin independen secara kenegaraan tetapi sekaligus juga independen di dalam keagamaan. Jangan lupa itu adalah sebuah keputusan besar berhadapan dengan satu institusi yang sudah berjalan 1500 tahun dengan kuasa yang begitu besar, dengan uang yang banyak, dengan orang yang begitu kuat; siapa kita sanggup menghadapi hal itu? Digencet sedikit kita akan habis dan mati. Itulah sebabnya perjalanan itu adalah sebuah perjalanan yang penuh dengan kesusahan dan penderitaan. Katekisasi Heidelberg ditulis oleh Zacharias Ursinus di tahun 1563 atas permintaan para pangeran Jerman ini sebagai sebuah buku standar katekisasi untuk membimbing dan memperlengkapi para bekas imam-imam Katolik yang kemudian keluar dan menjadi pendeta Protestan untuk mengerti esensi iman mereka dan melepaskan konsep yang dulu dan bagaimana mereka bisa memahami satu cara pandang berdasarkan pengajaran Alkitab yang begitu setia kepada firman Tuhan. Waktu itu banyak orang yang masih illiterate buta huruf sehingga mereka belajar dengan cara menghafal di luar kepala.

Pertanyaan pertama dari Katekisasi Heidelberg ini sangat berbeda sekali dengan pertanyaan pertama dari Pengakuan Iman Westminster yang disusun tahun 1646 dimana gereja Protestan Presbyterian khususnya gereja Scotland berada dalam posisi yang kuat dan menjadi satu pengaruh bagi masyarakat. Pertanyaan pertama dari Katekismus Westminster adalah: What is the chief end of man? The chief end of man is to glorify God and to enjoy Him forever. Pertanyaan pertama dari Westminster Catechism lebih memperlihatkan hal yang bersifat kemuliaan sedangkan pertanyaan pertama daripada Heidelberg Catechism lebih mengacu kepada salib. Dua-dua saling melengkapi satu dengan yang lain tetapi di dalam keadaan dan situasi yang berbeda.

Pertanyaan pertama dari Heidelberg Catechism: What is your only comfort in life and in death? Jawabannya: That I am not my own, but belong - body and soul, in life and in death - to my faithful Saviour Jesus Christ. He has fully paid for all my sins with His precious blood, and has set me free from the tyranny of the devil. He also watches over me in such a way that not a hair can fall from my head without the will of my Father in heaven; in fact, all things must work together for my salvation. Because I belong to Him, Christ, by His Holy Spirit, assures me of eternal life and makes me wholeheartedly willing and ready from now on to live for Him. Apakah yang menjadi satu-satunya kekuatan yang memberikan penghiburan dan yang memampukan kita berdiri di atas fondasi yang kokoh pada waktu kita hidup dan pada waktu kita mati? Menyadari bahwa hidupku bukan lagi milikku sendiri tetapi tubuh dan jiwa, hidup dan mati aku adalah milik Yesus Kristus Juruselamatku yang setia. Ia telah membayar lunas semua hutang dosaku dengan darahNya yang mulia dan Ia telah melepaskan aku dari belenggu tirani si Jahat. Bukan itu saja, aku tahu hidupku saat ini ada di dalam pemeliharaanNya dan diamati dengan seksama oleh Bapaku di surga; bahkan tidak ada sehelai rambutpun jatuh dari kepalaku tanpa sekehendak Bapaku yang di surga. Terlebih lagi, segala sesuatu yang terjadi dalam hidupku itu bekerja bagi keselamatanku. Sebab aku adalah milik Kristus, yang oleh Roh Kudus memberikan keyakinan dan jaminan bagiku akan hidup yang kekal. Itulah sebabnya mulai hari ini aku mendedikasikan kehendakku, keinginanku, dan segala sesuatu sepenuh hati untuk hidup bagi Tuhan mengerjakan dan melakukan apa yang menjadi kehendakNya dalam hidupku.

Pertanyaan ini penting mengingatkan kita hidup sebagai orang Kristen tidak terhindar dari kesulitan dan penderitaan. Kita tidak boleh berpikir bahwa menjadi anak Tuhan itu always happy; menjadi anak Tuhan itu tidak akan mengalami kesusahan dan ketika hal-hal yang sulit itu terjadi dalam hidup kita, akhirnya kita serta merta ingin mencari jalan keluar yang cepat dan dengan memakai segala cara adanya. Bahaya sekali jikalau hanya dengan satu dasar fondasi teologis yang begitu tipis lalu kemudian menjadikan kita goyah dan kehilangan pengharapan dan iman kepada Tuhan.

Dalam 2 Korintus 1:3-11 Paulus menyatakan sebuah ekspresi bagaimana pengenalannya akan Tuhan, imannya dan fondasi teologisnya itu memimpin dia melewati penderitaan dan kesusahannya dan menjadi kekuatan bagi dia dan bagi pelayanannya dan bagi hidupnya. Paulus berkata, "Terpujilah Allah, Bapa Tuhan kita Yesus Kristus, Bapa yang penuh belas kasihan dan Allah sumber segala penghiburan, yang menghibur kami dalam segala penderitaan kami, sehingga kami sanggup menghibur mereka, yang berada dalam bermacam-macam penderitaan dengan penghiburan yang kami terima sendiri dari Allah. Sebab sama seperti kami mendapat bagian berlimpah-limpah dalam kesengsaraan Kristus, demikian pula oleh Kristus kami menerima penghiburan berlimpah-limpah. Jika kami menderita, hal itu menjadi penghiburan dan keselamatan kamu; jika kami dihibur, maka hal itu adalah untuk penghiburan kamu, sehingga kamu beroleh kekuatan untuk dengan sabar menderita kesengsaraan yang sama seperti yang kami derita juga. Dan pengharapan kami akan kamu adalah teguh, karena kami tahu, bahwa sama seperti kamu turut mengambil bagian dalam kesengsaraan kami, kamu juga turut mengambil bagian dalam penghiburan kami. Sebab kami mau, saudara-saudara, supaya kamu tahu akan penderitaan yang kami alami di Asia Kecil. Beban yang ditanggungkan atas kami adalah begitu besar dan begitu berat, sehingga kami telah putus asa juga akan hidup kami. Bahkan kami merasa, seolah-olah kami telah dijatuhi hukuman mati. Tetapi hal itu terjadi, supaya kami jangan menaruh kepercayaan pada diri kami sendiri, tetapi hanya kepada Allah yang membangkitkan orang-orang mati. Dari kematian yang begitu ngeri Ia telah dan akan menyelamatkan kami: kepada-Nya kami menaruh pengharapan kami, bahwa Ia akan menyelamatkan kami lagi, karena kamu juga turut membantu mendoakan kami, supaya banyak orang mengucap syukur  atas karunia yang kami peroleh berkat banyaknya doa mereka untuk kami." Ada sembilan kali kata "penghiburan" [comfort] muncul di sini. Penghiburan itu datang dari sebuah pemahaman iman yang solid, relasi dan pengharapan di dalam Kristus itu teguh, itu bukan hal yang palsu dan itu yang membuat dia bisa kokoh berdiri sekalipun tatapan matanya di depan seperti pengakuannya: beban yang ditanggungkan atas kami adalah begitu besar dan begitu berat, sehingga kami telah putus asa juga akan hidup kami. Bahkan kami merasa, seolah-olah kami telah dijatuhi hukuman mati. Namun kita bersyukur, dari kalimat-kalimat yang dia ucapkan kita boleh melihat bagaimana rasul Paulus menikmati penghiburan dari Tuhan. Di situ kita juga melihat imannya yang teguh dan kepercayaannya kepada janji Tuhan yang tidak pernah berdusta, kekuatan yang datang bukan dari kekuatan dirinya sendiri tetapi dari pertolongan Tuhan semata. Dan itu menjadikan Paulus sebagai seorang hamba Tuhan yang menjalankan sebuah hidup mengimani dengan sungguh dan menjalankan dengan benar semua yang dia percayai dalam hidupnya di tengah kesusahan dan penderitaannya, dia meresponinya dengan jiwa Kristiani yang benar adanya.

George Whitefield seorang hamba Tuhan di abad 18 yang menjadi pengkhotbah revival besar pada masa itu mengatakan seorang hamba Tuhan akan menuliskan dan mengkhotbahkan khotbahnya yang betul-betul ditopang dengan kekuatan kuasa Allah justru pada waktu dia sedang ditimpa oleh salib yang berat atas dirinya. Itu adalah sebuah kalimat yang luar biasa mengingatkan kepada kita pada waktu kita melayani Tuhan, ikut Tuhan, itu adalah sebuah penderitaan yang manis bagi hidup kita. Menyadari perjalanan seperti itu adalah demikian adanya walaupun berada dalam perasaan hati yang hampir putus asa, kecewa dan mungkin mau menyerah kalah, kekuatan daripada kesadaran akan pemahaman teologi yang solid dan yang kuat itulah yang membuat kita bisa memiliki sukacita, damai sejahtera dan pengharapan melewati kesukaran dan penderitaan. Itulah hidup yang kita perlu jalani sama-sama.

Ada dua orang pendeta muda Reformed Scotland kakak beradik yang bernama Ebenezer Erskine dan Ralph Erskine, dua-dua menikah di usia muda. Ebenezer Erskine memiliki seorang isteri yang meninggal dunia waktu berusia 39 tahun. Setelah itu dia menikah lagi, isterinya yang ke dua ini meninggal hanya berselang tiga bulan sebelum akhirnya Ebenezer Erskine meninggal dunia juga. Dari dua isteri ini Ebenezer Erskine mendapatkan 15 anak, 6 anak meninggal dunia. Ralph Erskine juga menikah di usia muda dan menguburkan isteri yang pertama yang meninggal bersama bayinya. Dari dua isterinya Ralph Erskine mendapatkan 13 anak, 9 anaknya meninggal. Kematian memang tidak akan lepas dari hidup setiap kita; cepat atau lambat kita bisa menghadapinya. Tetapi bayangkan jikalau setiap tahun engkau harus menghadapi kematian orang-orang yang engkau kasihi, kadang-kadang itu terlalu berat untuk kita hadapi, bukan? Itu yang dialami oleh Ralph Erskine, setiap tahun satu anak meninggal dan terakhir isterinya juga meninggal bersama anak dalam kandungannya. Tetapi saya begitu tersentuh membaca catatan daripada perjalanan kehidupan spiritual dua hamba Tuhan ini: "Melayani Tuhan adalah sebuah penderitaan yang berbuah manis. Ketika pengharapanku tenggelam sampai ke tanah dan pada waktu kepalaku terjerembab dan hidungku penuh dengan tanah lumpur yang menenggelamkan kepalaku di tempat yang terdalam, saya dipulihkan karena saya mencium wangi "bunga mawar Saron" yang hancur terinjak di bawah sana. Bunga yang sudah diremukkan itu justru menghasilkan wangi yang harum; itulah yang membuat aku bisa bangkit dan berdiri. Aku mengerti arti dari kalimat "GadaMu dan tongkatMu itulah yang menghibur aku" dan mengawal aku melewati lembah kekelaman (Mazmur 23:4). Itu kalimat dari catatan harian dua hamba Tuhan ini. Di situ kita boleh melihat sebuah kehidupan sebagai anak Tuhan yang mempunyai pengenalan dan pemahaman teologi seperti ini dan itu tidak berhenti sampai di dalam pemahaman kognitif saja tetapi menjadi satu solid theology yang memberikan lifestyle dalam hidup sdr. Lifestyle yang seperti apa? Sebuah lifestyle yang nampak saat menghadapi kesukaran dan penderitaan dalam hidupmu dan dalam pelayananmu secara kristiani. Kita tidak akan lepas dari berbagai macam kesulitan, tantangan, penderitaan dalam pelayanan tidak ada habis-habisnya, tuntutan yang tidak ada habis-habisnya, ketidak-puasan yang tidak ada habis-habisnya. Hidup sdr dilihat oleh orang menjadi anak Tuhan dan pada waktu engkau berbuat baik orang bisa bilang orang Kristen memang harusnya begitu dan pada waktu engkau sedikit saja tidak mencapai apa yang menjadi sasaran dan tuntutan orang kepadamu sebagai orang Kristen, mereka akan mencelamu habis-habisan sehingga kadang engkau merasa engkau sudah berbuat sebaik-baiknya kenapa orang tidak pernah puas? Itulah fakta realita hidup sebagai orang Kristen dan itu jangan membuat kita menjadi down. Ingatkan lagi, pada waktu engkau berada di bawah, pengharapanmu sampai pada titik yang rendah seperti itu engkau bisa mencium wangi daripada Bunga Mawar Saron karena Bunga itu pernah remuk diterpa, diinjak orang tetapi justru itu menghasilkan wangi yang harum oleh karena penderitaanNya.

Kita bersyukur untuk kasih karuniaNya, berkatNya, pemeliharaanNya tidak pernah berkesudahan dan tidak pernah putus-putusnya di dalam hidup kita karena kita boleh mengenal Tuhan dengan benar; kita boleh mendengar khotbah-khotbah yang memberikan pengajaran yang benar; kita boleh membaca buku-buku yang baik. Kita mau firman Tuhan menjadi fondasi yang terutama dalam hidup kita dan biarlah apa yang kita dengar dan pahami itu membentuk sebuah lifestyle dan identitas sebagai pengikut Kristus yang sejati dalam hidup kita masing-masing. Kiranya Tuhan senantiasa dimuliakan pada waktu kita hidup sungguh-sungguh sebagai anak Tuhan dan terutama pada waktu menghadapi kesukaran dan penderitaan kita bisa meresponinya dengan jiwa Kristiani yang benar adanya.(kz)

Previous
Previous

Pilgrim's Mentality

Next
Next

Pray for Every Opportunity